Ketimpangan pengakuan sains, seni, dan ilmu sosial dalam penilaian akademik: Perspektif Nietzsche dan Heidegger

Saya baru saja membaca sebuah tulisan berjudul “The Problem of Science in Nietzsche and Heidegger” karya Babette Babich, yang membahas kritik kedua filsuf ini terhadap sains modern dan bagaimana seni serta ilmu sosial dipinggirkan dalam sistem akademik. Nietzsche melihat sains modern sebagai usaha yang sering kali mengabaikan dimensi eksistensial kehidupan, sehingga seni dibutuhkan sebagai perlindungan dari kebenaran yang menyakitkan. Sementara itu, Heidegger menyoroti bagaimana sains dan teknologi mengutamakan pengukuran dan kontrol, sehingga mengasingkan manusia dari pemahaman yang lebih mendalam tentang keberadaan. Kedua filsuf ini memandang seni sebagai sarana penting untuk mengungkapkan kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh sains.

Ketidaksejajaran sains dan seni

Dalam pandangan Nietzsche, sains dan seni berasal dari kekuatan kreatif yang sama, tetapi mereka memiliki tujuan berbeda. Sains bertujuan untuk mencari kebenaran objektif, tetapi sering kali menghasilkan pemahaman yang mereduksi realitas dan mengabaikan dimensi emosional dan spiritual kehidupan. Seni, di sisi lain, memberikan ruang untuk melarikan diri dari kebenaran yang terlalu keras dan menawarkan cara untuk menemukan makna hidup yang lebih mendalam dan estetis. Nietzsche berpendapat bahwa seni memiliki kemampuan untuk membantu manusia menghadapi kenyataan yang pahit.

Heidegger menyatakan bahwa sains modern dan teknologi cenderung melihat dunia sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dikendalikan, menjadikannya objek eksploitasi. Dalam esainya “The Question Concerning Technology”, Heidegger mengkritik pandangan ini, menyatakan bahwa pendekatan teknologis tersebut menyebabkan manusia kehilangan hubungan autentik dengan dunia. Seni, dalam pandangan Heidegger, berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih mendalam tentang keberadaan, dengan cara yang tidak dapat dicapai oleh sains yang berbasis pengukuran.

Ketidaksejajaran ini semakin jelas terlihat dalam konteks penilaian akademik di platform indeksasi seperti Scopus dan Web of Science (WoS). Jurnal-jurnal seni dan humaniora sering kali dipinggirkan dalam sistem penilaian akademik, sementara jurnal di bidang sains alam atau teknologi memperoleh indeksasi dan pengakuan yang lebih tinggi. Ini menciptakan hierarki pengetahuan yang bias, di mana pengetahuan kuantitatif dianggap lebih berharga daripada pengetahuan kualitatif atau interpretatif.

Bias dalam indeksasi akademik: Marginalisasi seni dan ilmu Sosial

Platform seperti Scopus dan WoS mengutamakan disiplin yang menghasilkan pengetahuan terukur, seperti sains alam dan teknologi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan, di mana ilmu sosial dan humaniora dianggap kurang ilmiah karena lebih berfokus pada pemahaman kualitatif. Seni, yang bersifat subjektif dan kreatif, bahkan lebih dipinggirkan dalam sistem penilaian ini.

Misalnya, jurnal-jurnal yang berfokus pada kajian budaya, seni, atau teori sosial sering kali memiliki indeksasi yang lebih rendah dibandingkan dengan jurnal di bidang fisika atau bioteknologi. Padahal, ilmu sosial dan humaniora memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pemahaman kita tentang kemanusiaan dan budaya, yang tidak dapat direduksi menjadi angka atau statistik. Penilaian kuantitatif yang digunakan oleh Scopus dan WoS memperkuat marginalisasi ini karena mengandalkan h-index dan jumlah kutipan, yang lebih mudah dicapai oleh sains alam.

Heidegger dan Nietzsche akan melihat peminggiran ini sebagai bukti bahwa dunia modern terlalu fokus pada penguasaan teknologis, sementara mengabaikan aspek eksistensial dan emosional yang lebih dalam yang bisa diungkapkan melalui seni dan ilmu sosial. Sains telah mengalihkan fokus manusia dari pertanyaan eksistensial menuju pengukuran dan kontrol, yang akhirnya mengasingkan manusia dari pemahaman yang lebih autentik tentang kehidupan.

Pentingnya seni dan slmu sosial dalam pemahaman keberadaan

Nietzsche dan Heidegger sepakat bahwa seni dan ilmu sosial menawarkan pemahaman yang tidak bisa diberikan oleh sains. Nietzsche melihat seni sebagai penyaring dari kebenaran yang menyakitkan yang sering diungkapkan oleh sains. Seni memungkinkan manusia menemukan makna yang lebih dalam dan membantu menghindari keputusasaan akibat pengetahuan ilmiah yang dingin. Sementara itu, Heidegger menekankan bahwa seni adalah alat untuk mengungkap kebenaran yang lebih mendalam tentang eksistensi manusia. Seni tidak tunduk pada logika pengukuran atau kontrol, melainkan membuka ruang bagi manusia untuk merenungkan dan merasakan realitas dengan cara yang lebih otentik.

Marginalisasi seni dan ilmu sosial dalam penilaian akademik menyebabkan kehilangan perspektif penting dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia. Ketika seni dan ilmu sosial dianggap kurang penting, kita kehilangan dimensi eksistensial yang kualitatif. Pengetahuan bukan hanya tentang mengukur dan mengendalikan dunia, tetapi juga tentang memahami makna dan menemukan tempat kita dalam keberadaan.

Mengatasi ketimpangan: Ruang untuk seni dan ilmu sosial

Untuk mengatasi ketimpangan ini, penilaian akademik perlu lebih inklusif dalam mengakui kontribusi seni dan ilmu sosial. Nietzsche akan mengingatkan kita bahwa seni memungkinkan manusia untuk bertahan hidup dalam menghadapi kebenaran yang keras, sementara Heidegger akan menegaskan bahwa seni membuka ruang bagi pengungkapan kebenaran yang lebih otentik.

Penilaian akademik harus mengubah cara pandangnya terhadap apa yang dianggap berharga dalam dunia pengetahuan. Indeksasi dan penilaian perlu lebih terbuka terhadap disiplin yang tidak hanya fokus pada pengukuran, tetapi juga merenungkan dan menafsirkan. Dengan cara ini, seni, sains, dan ilmu sosial dapat saling melengkapi dalam memahami kehidupan secara lebih utuh.

Refleksi

Pandangan Nietzsche dan Heidegger tentang seni dan sains memberikan kritik penting terhadap bias penilaian akademik modern, yang terlalu menitikberatkan pada sains alam dan mengabaikan kontribusi seni dan ilmu sosial. Platform indeksasi seperti Scopus dan WoS memperkuat bias ini dengan menempatkan disiplin-disiplin tersebut di pinggiran. Untuk menciptakan dunia pengetahuan yang lebih seimbang, kita harus mengakui bahwa seni dan ilmu sosial memainkan peran penting dalam mengungkap kebenaran tentang keberadaan manusia, yang tidak dapat direduksi menjadi angka atau pengukuran semata.