Revolusi striatum: Ketika Menteri Pendidikan menggempur otak siswa dan guru

Tulisan ini adalah sebuah harapan yang semoga bisa terwujud dan benar-benar dilakukan oleh menteri pendidikan yang baru diangkat. Kebijakan-kebijakan yang dicanangkan diharapkan membawa perubahan besar pada dunia pendidikan di Indonesia, menggempur otak siswa dan guru hingga ke dasar-dasar neurosains.

Striatum adalah bagian dari otak yang terletak di dalam basal ganglia, dan berperan penting dalam mengatur proses penghargaan, motivasi, dan pengambilan keputusan. Fungsinya yang kompleks menjadikannya salah satu pusat kendali utama dalam mengarahkan perilaku manusia terhadap pencapaian dan penghindaran kegagalan.

Baru saja, menteri pendidikan baru diangkat dengan sorak sorai media nasional. Banyak yang berharap menteri baru ini akan mengumumkan kebijakan terbaru yang digadang-gadang akan mengguncang dunia pendidikan, sekaligus mengubah cara kerja otak para siswa. Beliau tampak yakin bahwa setiap kebijakan yang akan diluncurkan akan mendongkrak proses pembelajaran dari akar rambut hingga neuron terdalam. Dengan kata lain, ini bukan sekadar kebijakan pendidikan, ini adalah revolusi neurosains di Indonesia.

Langkah pertama mungkin adalah mengembalikan NEM sebagai syarat masuk SMP dan SMA. Ya, NEM ini adalah bentuk klasik dari nilai sakral yang dianggap bisa mengukur semua aspek kehidupan manusia dalam deretan angka yang tak pernah berubah. Kini, para siswa akan kembali merasakan peningkatan aktivitas di area prefrontal cortex, yaitu bagian otak depan yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, perencanaan, dan kontrol diri, karena otak mereka harus menyusun strategi untuk bertahan dalam seleksi Darwinian ini. Otak mereka akan dipacu untuk menghindari aktivasi amigdala berlebih, yang merupakan pusat pengolahan emosi dan rasa takut, dan bisa terjadi jika nilai yang diperoleh tidak sesuai harapan.

Tidak kalah penting, sang menteri mungkin akan mengembalikan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). PMP yang dulu dikenal sebagai ajang diskusi normatif soal moralitas dan ideologi, akan menjadi tempat di mana otak para siswa bekerja keras memproses nilai-nilai moral di korteks prefrontal ventromedial, yang bertugas mengatur penilaian moral dan pemrosesan emosi. Di masa depan, para siswa mungkin akan lebih mengenal filosofi nasional daripada algoritma. Dan siapa yang butuh matematika saat moral sudah terpatri dalam neuron?

Mari kita beri tepuk tangan meriah jika kebijakan berikut ini diluncurkan: tidak ada kelulusan yang dipaksakan. Ini adalah langkah brilian untuk menghindari “overjustification effect”, yaitu fenomena di mana penghargaan eksternal mengurangi motivasi intrinsik seseorang. Jika anak-anak terus-menerus dipaksa naik kelas hanya untuk menghindari amarah wali kelas, jelas ini adalah beban berat bagi striatum mereka. Kebijakan ini memastikan bahwa setiap siswa yang lulus akan merasakan pelepasan dopamin yang tulus, yaitu neurotransmiter yang terkait dengan rasa senang dan motivasi, bukan hanya karena tekanan eksternal, melainkan sebagai hasil dari pencapaian sejati. Hebat, bukan? Selamat tinggal manipulasi dopamin berbasis penghargaan kosong!

Kebijakan selanjutnya adalah menerapkan kembali rapor merah. Kembalinya simbol klasik kegagalan ini seolah-olah menjadi cara pemerintah untuk berkata, “Anak muda, jangan terlena!” Dengan memperlihatkan rapor yang menyala seperti lampu peringatan di dashboard mobil tua, menteri kita yakin bahwa setiap neuron di cingulate cortex siswa akan diaktifkan oleh “sakit emosional” yang produktif. Cingulate cortex sendiri adalah bagian dari otak yang terlibat dalam pengolahan emosi dan rasa sakit sosial. Mereka akan termotivasi, katanya, atau mungkin hanya menangis di pojokan kelas, siapa yang tahu?

Tentu saja, sang menteri mungkin tidak berhenti di situ. Beliau juga akan memperkenalkan kebijakan paling canggih: Biarkan guru fokus mengajar, bukan mengurus administrasi. Guru-guru kita akhirnya bisa mengistirahatkan prefrontal cortex dorsolateral, yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pengelolaan tugas, dari urusan surat-menyurat, dan lebih fokus menebarkan keajaiban pendidikan. Dengan kebijakan ini, para guru diharapkan bisa membangun koneksi emosional yang kuat dengan siswa, menstimulasi pelepasan oksitosin, yaitu hormon yang memperkuat rasa kepercayaan dan ikatan sosial, dan menciptakan suasana kelas yang harmonis. Harapannya, tentu saja, adalah kebangkitan Renaissance di setiap sudut sekolah di Indonesia.

Jadi, apakah ini adalah kebijakan pendidikan atau percobaan neurosains berskala nasional? Hanya sejarah yang bisa menjawabnya. Yang pasti, di bawah komando sang menteri, setiap neuron, sinapsis, dan neurotransmitter di dalam otak siswa dan guru akan digerakkan seirama dengan mars perubahan pendidikan. Semoga tidak ada neuron yang cedera dalam proses revolusi ini.