Mengoptimalkan kategori universitas Ala Edward Shils

Saya baru saja membaca buku Edward Shils yang berjudul “Etika Akademis” (ini PDF-nya) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata pengantar oleh Parsudi Suparlan. Dalam pandangan Edward Shils, universitas bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan sebuah arena pertemuan berbagai visi, misi, ambisi, dan konflik kekuasaan. Shils secara skeptis mengkategorikan universitas berdasarkan realitas mereka. Klasifikasi ini dapat menjadi panduan untuk merumuskan kebijakan yang katanya akan membawa kemajuan.

Universitas Politik misalnya, menggambarkan kampus sebagai tempat di mana mahasiswa dan dosen bertransformasi menjadi tokoh politik dadakan. Seminar akademis berubah menjadi rapat strategi politik dan diskusi ilmiah adalah sesi debat dengan jargon partai yang saling beradu. Tidak perlu heran jika kita melihat mahasiswa berusia 25 tahun yang pandai menyusun retorika kosong, atau dosen yang lebih sibuk mengatur massa ketimbang kelas. Kebijakan yang tepat tentu adalah menjadikan universitas sebagai pusat kampanye politik dan melatih calon-calon orator handal yang dapat ‘membebaskan’ rakyat dari logika.

Universitas Massa merujuk pada fenomena meningkatnya jumlah mahasiswa yang masuk ke universitas, menjadikannya pabrik yang mencetak lulusan berdasarkan kuota. Mengenai kualitas, tidak perlu perfeksionis, asalkan ada nama universitas di ijazah. Slogan yang tepat mungkin adalah “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk lulusan.” Untuk kebijakan, perbanyak kuota dan bangun kampus baru di setiap sudut jalan.

Dalam Universitas Pengabdian Masyarakat, pengabdian masyarakat menjadi topeng mulia untuk menggalang simpati. Dengan proyek sosial seremonial tahunan, universitas berhasil membentuk citra heroik tanpa perlu berdampak nyata. Kebijakan yang ideal adalah mewajibkan universitas menyelenggarakan acara bakti sosial tahunan agar masyarakat yakin bahwa universitas adalah benteng moral masyarakat.

Universitas yang Didominasi Pemerintah adalah tempat di mana pengaruh pemerintah begitu kuat terhadap kebijakan universitas, termasuk penentuan kurikulum, pengangkatan staf, dan pendanaan. Dominasi ini menjadi tantangan bagi kebebasan akademis dan otonomi universitas. Kebijakan visioner tentu penyeragaman kurikulum nasional agar kreativitas mahasiswa tidak terlalu membahayakan stabilitas.

Pada Universitas yang Mengalami Birokrasi, kita dihadapkan pada tantangan meningkatnya struktur birokrasi. Birokrasi berlebihan mempersulit pengambilan keputusan cepat dan fleksibilitas dalam pengajaran serta penelitian. Kebijakan idealnya adalah memperbanyak aturan agar para birokrat universitas tetap produktif.

Universitas yang Miskin Dana menggambarkan ketangguhan mahasiswa dan dosen yang mampu bertahan dengan fasilitas minim dan anggaran penelitian kecil. Kebijakan terbaik jelas melanjutkan penghematan dana dan mempromosikan program riset berbasis niat baik dan cinta ilmu.

Pada Universitas di Bawah Sorotan Publisitas, tekanan untuk mempertahankan citra publik dan ekspektasi masyarakat begitu kuat. Media dan sorotan publik dapat memengaruhi kebijakan dan cara universitas berfungsi. Kebijakan paling bijak tentu memperkuat divisi marketing universitas agar narasi kesuksesan tetap terjaga.

Universitas Penelitian menjadi tempat di mana orientasi penelitian memberi nilai tambah bagi masyarakat. Fokus pada kualitas penelitian sering tersingkirkan karena orientasi pada angka dan ranking. Kebijakan ideal adalah mengalokasikan lebih banyak dana untuk publikasi, meskipun kualitasnya dapat menyusul nanti.

Universitas yang Terpecah-belah adalah gambaran perpecahan internal akibat kepentingan politik, perbedaan akademik, atau konflik antar-fakultas. Perpecahan ini mengganggu harmoni akademis. Kebijakan tepat tentu adalah membiarkan perbedaan ini tumbuh karena persatuan justru menghambat keragaman konflik.

Universitas yang Kehilangan Semangat menggambarkan hilangnya motivasi dosen dan mahasiswa karena perubahan kebijakan, tekanan birokrasi, atau masalah internal. Solusinya adalah gelar, sertifikat, dan penghargaan yang merata. Kebijakan tepat jelas meningkatkan pemberian gelar kehormatan untuk memulihkan semangat yang hilang.

Terakhir, upaya Mempertahankan Universitas sebagai Pusat Studi menjadi wacana idealis. Lebih realistis adalah menjadikannya pusat produksi gelar, ikon branding daerah, atau pusat kegiatan non-akademis. Kebijakan yang ideal tentu mengintegrasikan kegiatan universitas dengan semua elemen masyarakat, termasuk unsur ekonomi, politik, dan hiburan.

Dengan memahami klasifikasi ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kemajuan bisa dicapai bukan dengan memperbaiki sistem pendidikan, tetapi dengan memaksimalkan potensi unik dari setiap kategori universitas yang sudah ada. Realitas selalu lebih menarik dari idealisme! Satir.