Menolak tanpa basa-basi: Renungan editor

Sebagai editor, saya merasa seperti penjaga gerbang terakhir dalam dunia akademik, seorang pilar yang berdiri tegak untuk memastikan hanya karya terbaik yang layak melewati celah sempit publikasi. Bagi saya, menolak artikel bukanlah sekadar hobi atau kenikmatan tersendiri, melainkan sebuah tanggung jawab moral untuk melindungi integritas ilmu pengetahuan dari ancaman tulisan-tulisan yang ceroboh dan melanggar aturan.

Setiap penolakan yang saya berikan bukan keputusan sewenang-wenang. Ia lahir dari evaluasi, didasarkan pada pedoman pengajuan yang sudah disusun dengan penuh kehati-hatian. Pedoman ini bukan sekadar hiasan formalitas, melainkan fondasi yang dirancang untuk menciptakan keseragaman dalam struktur, format, dan kualitas. Ironisnya, pedoman ini sering kali diperlakukan seperti manual elektronik yang langsung diabaikan begitu kotak kemasannya dibuka.

Bagi para penulis yang bertanya mengapa naskah mereka ditolak, saya selalu merasa dilematis antara menjawab dengan kesabaran atau membiarkan mereka belajar dari rasa sakit penolakan. Namun, waktu yang terbatas dan daftar panjang naskah yang menunggu giliran memaksa saya untuk mengambil jalan pintas. Saya memilih diam, membiarkan pedoman berbicara untuk saya, karena menjelaskan hal yang sudah tertulis rasanya sama saja seperti mengajari ikan untuk berenang.

Saya sering membayangkan bagaimana frustrasinya penulis yang merasa karya mereka diperlakukan tanpa belas kasih. Namun, saya juga membayangkan bagaimana frustrasinya saya saat menemukan artikel yang ditulis tanpa memperhatikan aturan yang sudah jelas terpampang. Hubungan ini, antara penulis dan editor, sering kali terasa seperti permainan tarik tambang yang tidak pernah selesai.

Mungkin harapan terbaik saya sebagai editor adalah bahwa para penulis akhirnya akan memahami aturan permainan ini. Bahwa mereka akan mulai membaca pedoman seperti membaca kitab suci, menyusun naskah dengan ketelitian seorang arsitek, dan memastikan setiap kalimat telah melalui penyuntingan yang tajam. Saya juga berharap mereka akan berhenti mengirimkan abstrak yang terasa lebih seperti pidato kampanye daripada ringkasan penelitian.

Namun, dalam dunia yang bergerak cepat ini, impian tersebut sering kali hanya berakhir sebagai utopia. Sampai saat itu tiba, saya akan terus duduk di kursi penghakiman ini, menjaga pintu jurnal dengan tangan yang tegas tetapi hati yang lelah. Menolak tanpa basa-basi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan tetap berdiri kokoh di atas pondasi yang bermutu.