Rp 50 Ribu yang ditolak: Ketika buruh harian lebih kaya daripada koruptor

Istri saya baru saja mengalami kejadian unik. Ia menawarkan uang Rp 50 ribu kepada seorang buruh harian yang membantunya mengangkat barang dari mobil ke rumah. Bukannya diterima dengan senyum lebar, uang itu justru ditolak mentah-mentah. “Nanti kalau dikasih, saya nggak mau datang lagi,” katanya sambil tersenyum ramah.

Luar biasa. Di zaman di mana uang menjadi raja, di mana manusia berlomba-lomba menimbun harta, seorang buruh harian dengan upah Rp 100 ribu sehari mengajarkan kita tentang arti harga diri. Baginya, nilai sebuah bantuan, nilai sebuah persahabatan, jauh lebih tinggi dari selembar uang kertas. Ia memilih menjaga ikatan yang telah terjalin daripada sekadar transaksi material.

Sungguh ironis ketika kita melihat realita di sekitar. Para pejabat, pengusaha, bahkan orang-orang yang bergelimang harta, masih saja terjerat kasus korupsi. Ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, seakan tak pernah cukup memuaskan dahaga mereka. Di mana letak harga diri mereka? Di mana rasa cukup?

Kisah buruh harian ini seperti tamparan keras bagi kita semua. Bahwa kebahagiaan dan ketenangan hati tak selalu bisa dibeli dengan uang. Ada hal-hal yang jauh lebih berharga: rasa ikhlas, persahabatan, dan harga diri. Mungkin kita perlu belajar dari mereka yang “hanya” berpenghasilan Rp 100 ribu sehari, tentang bagaimana menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas segalanya.

Semoga kisah ini menjadi renungan bagi kita semua. Mari kita belajar menghargai sesuatu yang lebih dari sekadar materi. Karena pada akhirnya, harga dirilah yang akan menentukan siapa diri kita sebenarnya.