Betapa menggetarkannya adegan di “Scent of a Woman” ketika Al Pacino, atau lebih tepatnya Letnan Kolonel Frank Slade, berdiri di hadapan khalayak untuk membela seorang mahasiswa yang berani, Charlie Simms. Dengan lidah yang tajam dan suara menggelegar, Slade menghantam keras institusi pendidikan yang berusaha menghukum kejujuran dan keberanian moral. Namun, siapa sangka, pidato yang begitu dramatis itu lebih dari sekedar adegan di film; ia adalah cerminan suram dari dunia akademis.
Dalam dunia pendidikan yang ideal, kejujuran dijunjung tinggi layaknya trofi prestisius. Namun, apa yang kita lihat hari ini? Institusi yang lebih memilih politik daripada prinsip, dan pengakuan daripada kebenaran. Kita harus bertanya: apakah universitas-universitas telah berubah menjadi studio Hollywood, di mana integritas hanya skenario yang indah untuk didengar tapi jarang dilakukan?
Pidato Slade yang membara itu seharusnya menjadi lebih dari sekedar dialog film. Ia harus menjadi pengingat bagi kita semua, terutama bagi para akademisi, bahwa di balik setiap nilai dan ujian, ada cerita integritas yang perlu dijaga. Daripada menjadi pengecut yang diam seribu bahasa, marilah kita menjadi pahlawan dalam narasi kita sendiri, menegakkan integritas tidak hanya dalam kata, tapi juga dalam tindakan.
Mari kita tertawakan ironi ini bersama-sama: dalam dunia yang seringkali mengorbankan etika demi keuntungan, mungkin kita memang perlu tokoh fiksi dari film untuk mengingatkan kita tentang nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar pendidikan kita. Sungguh, sebuah paradoks yang tidak hanya tragis, tapi juga konyol. Tetapi, setidaknya kita bisa menertawakan diri sendiri, bukan? Dan sambil kita tertawa, mungkin, hanya mungkin, kita bisa mulai membuat perubahan kecil yang akan membawa integritas kembali ke panggung utama—tidak hanya di layar lebar, tapi di dalam kelas-kelas kita.