Dosen yang Hadir Dihati

Tulisan ini didasarkan kepada refleksi yang ditulis oleh berapa puluh mahasiswa yang mengirimkan refleksinya dengan anonim setelah bertahun-tahun mengikuti perkuliahan.

Dosen itu, dulu, seperti pohon rindang di tengah kampus. Diam, namun hadir. Ia tidak sibuk menghitung daun-daunnya, atau mengejar sertifikat hujan. Ia tahu kapan mesti tumbuh, dan kapan sekadar meneduhkan mahasiswa yang masih bingung mencari arah.

Tapi kini, pohon-pohon itu seperti tercerabut. Akademia telah menjelma ladang administrasi: tabel, laporan, kredit angka-angka. Mereka yang seharusnya menyalakan keberanian berpikir, kini lebih sering tenggelam dalam perhitungan yang tak menumbuhkan siapa pun.

Saya rindu dosen yang tahu bahwa membimbing bukan hanya memberi nilai, tapi memberi makna. Yang tahu bahwa ilmu bukan daftar pustaka, melainkan keberanian menyigi dunia dengan kepala dan hati.

Tapi, mungkinkah mereka kembali?

Dalam dunia yang lebih tertarik pada indeks dan kutipan, apakah masih ada tempat bagi mereka yang hadir bukan untuk mengisi borang, tapi untuk menemani perjalanan sunyi mahasiswa mencari siapa dirinya sendiri?

Pendidikan tinggi, sebutan itu sendiri seperti ironi. Tinggi, tapi kadang menjauh dari yang paling dasar: kemanusiaan.

Dosen sejati mungkin tak banyak bicara, tapi kehadirannya berbicara. Ia bukan sekadar pemilik gelar, tapi penjaga nyala yang kini mulai padam.