Mereka Menyebutnya Kurban

Di balik Idul Adha, selalu ada satu momen sunyi yang tak banyak terdengar. Saat seseorang menyerahkan dirinya, diam-diam, tanpa suara, pada sesuatu yang lebih tinggi. Mereka menyebutnya kurban. Tapi kurban, dalam bentuk yang paling jernih, bukan hanya tentang kambing yang ditumbangkan atau sapi yang ditambatkan pada tiang pagi. Ia adalah sesuatu yang lebih halus. Lebih tak terlihat. Dan karena itu lebih dalam.

Kurban adalah saat manusia menanggalkan dirinya. Saat ia menyingkirkan ego, kesenangan, dan kenyamanan yang setiap hari dibanggakan. Dalam dunia yang begitu bising oleh pencapaian dan pencitraan, barangkali yang paling suci justru mereka yang memilih terbakar diam-diam, menjadi lilin, bukan sorotan lampu.

Bagi guru, dosen, pengajar, dan siapa pun yang mencurahkan hidupnya untuk menyalakan terang bagi generasi yang akan datang, kurban tak selalu tampil dalam bentuk yang disaksikan kamera. Ia hadir sebagai jam-jam yang tak terlihat. Sebagai waktu yang diberikan tanpa tepuk tangan. Sebagai pikiran yang lelah tapi tak ingin berhenti.

Dan di sinilah barangkali kita teringat pada Cipolla, yang dalam simpelnya, membagi manusia ke dalam kuadran berdasar dampaknya, untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Maka, pengorbanan yang diam itu masuk ke dalam kuadran yang paling bijak. Ia memberi kepada yang lain, tapi justru dari situlah ia tumbuh. Secara batin. Secara makna. Bahkan secara sosial.

Tentu, tak semua dari kita menyembelih kambing tiap tahun. Tapi boleh jadi, tiap hari kita menyembelih ego kita sendiri. Dan itulah kurban yang sejati.

Namun kita juga perlu menegaskan: ibadah kurban bukan hanya soal simbol. Ia adalah perintah nyata yang diajarkan dalam syariat, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim dan dilestarikan oleh Nabi Muhammad SAW. Menyembelih hewan kurban, bagi yang mampu, adalah bentuk ketaatan konkret yang memiliki dimensi sosial dan spiritual sekaligus.

Allah SWT, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, tidak membutuhkan darah atau daging. Tapi Dia menerima ketakwaan dari hamba-Nya. Dan bukankah ketakwaan itu dimulai saat kita mampu berkata, dengan rendah hati, “aku bukan pusatnya”?

Mungkin Idul Adha memang diciptakan bukan hanya untuk menyembelih hewan. Tapi agar kita bisa, sekali lagi, dengan lirih, menyembelih diri kita yang lama. Dan setelah itu, hidup lebih ringan, lebih jernih, lebih berserah.