Ketika Kebenaran Menyepi

Hari ini, sebuah kata yang dulu sederhana, “kebenaran”, telah kehilangan gema. Ia seperti bayang-bayang di siang bolong, hadir tapi nyaris tak terpegang. Kita hidup di zaman ketika emosi lebih dipercaya daripada data, ketika cerita yang menyentuh lebih diyakini ketimbang bukti yang diam. Kata orang, ini zaman post-truth. Tapi mungkin ia lebih seperti zaman lupa.

Kita tidak sepenuhnya tertipu. Kita tahu bahwa apa yang berulang bukan selalu yang benar. Tapi kita lelah. Dan kelelahan itu, seperti air mengalir deras, mencari celah. Media sosial, yang lahir dari janji kebebasan berbagi, telah berubah menjadi ladang gema, ruang di mana yang paling nyaring, paling viral, paling menyentuh perasaan, menjadi kebenaran baru meski palsu.

Jika sebuah dusta terus-menerus diulang, ia akan mulai tampak rapi. Dan yang rapi sering kali kita anggap benar. Seperti rumah yang dindingnya ditempeli poster-poster prestasi, padahal isinya kosong. Seperti kampus yang ramai disebut unggul karena tampilan brosur, padahal ruang kelasnya sunyi oleh pemikiran kritis. Akademia, dulunya tempat memburu kebenaran, kini kadang menjadi pasar citra.

Tony Schwartz menyebut “Media: The Second God”. Mungkin benar. Kita tidak lagi menghadap altar tempat kita menyembah kebenaran, tapi layar. Di sana ada segalanya, cerita, simbol, kehebatan, bahkan kebajikan, semuanya dalam bentuk iklan. Media bukan lagi cermin, tapi panggung. Dan di panggung itu, siapa yang bisa membuat kisah paling memikat, ialah yang menang.

Apa yang harus kita lakukan di tengah ini semua? Bertahan dalam keheningan bisa terasa seperti menyerah. Namun mengikuti arus juga bukan pilihan, arus itu membawa kita menjauh dari tepi yang kokoh. Mungkin seperti kata penyair, yang penting bukan melawan, tapi tetap sadar. Sadar bahwa kita sedang digelincirkan. Sadar bahwa dunia yang kita lihat belum tentu dunia yang nyata.

Mencari yang genuine, yang asli, yang belum direkayasa algoritma, memang seperti menggali sumur di padang pasir. Tapi barangkali dari situlah kekuatan justru lahir, bukan dari keyakinan yang keras, tapi dari pertanyaan yang tak putus-putus. Dari keberanian untuk berkata, saya tidak tahu, mari kita cari bersama.