Algoritma dan Mutu Ilmu Pengetahuan

Saya membayangkan sebuah pagi di mana iklan kursus “Menyusun Systematic Literature Review (SLR) dengan AI” itu muncul. Ia berbayar, tentu saja, dan menjanjikan efisiensi untuk memenuhi KPI administratif bagi dosen dan mahasiswa. Sebuah “demand” yang jelas, sebuah “peluang cuan” yang menggiurkan. Di balik kilau janji, tersembunyi kekhawatiran. Akankah ini hanya menghasilkan keuntungan finansial, tanpa membangun ilmu pengetahuan?

Hakikat SLR adalah proses riset yang sistematis dan mendalam. Perjalanan yang membutuhkan pemahaman metodologi, analisis kritis, dan dedikasi. Ini bukan sekadar “kerja” untuk memenuhi formalitas administratif. Jika AI digunakan untuk “menyusun” SLR demi KPI, kita berisiko menciptakan produk dangkal yang hanya memenuhi syarat tanpa substansi ilmiah.

Dunia maya kita kini “dipenuhi noise bacaan yang tidak bermakna”. Semakin banyak informasi, semakin tidak bermakna informasi tersebut. Bukankah ini seperti burung yang bersuara indah namun tak punya makna sejati? Kemudahan akses informasi, paradoksnya, justru bisa menghasilkan ilusi produktivitas ilmiah tanpa inovasi sejati.

Ketika KPI diorientasikan pada kuantitas tanpa kualitas, fenomena kursus “SLR kilat dengan AI” ini akan terus bermunculan, memperparah “noise informasi” dan menghambat pembangunan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Ini mencerminkan “alienasi birokrasi” yang meluas, di mana fokus beralih dari esensi ke formalitas. Kita seperti orang yang melupakan kualitas demi angka-angka.

Pertanyaan yang menggantung adalah, apakah kita akan berkompromi dengan “kebenaran” demi kepraktisan? Atau akankah kita kembali pada “laku” sejati dalam mencari pengetahuan, bahkan jika itu berarti perjalanan yang sunyi dan tak menguntungkan secara instan? Sejarah menunjukkan, ilmu pengetahuan sejati tidak bisa dibangun hanya dengan algoritma; ia butuh refleksi, pertanyaan, dan kesediaan untuk tidak selalu mencari “cuan” semata.