Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Pada 18 Agustus 2025 saya menerima kabar duka melalui WhatsApp:
“Assalamu’alaikum Wr. Wb. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Allohummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Telah berpulang ke Rahmatullah, saudara kita purnabakti BATAN Bandung, Bapak Harjoto Djojosubroto, pada hari Senin, 18 Agustus 2025, pukul 05:18 WIB. Semoga Almarhum diterima iman Islamnya, ditempatkan dalam kenikmatan di tempat terbaik di sisi Allah Ta’ala, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan. Aamiin.
Saya mengenang beliau bukan hanya sebagai pembimbing skripsi saya, tetapi juga sebagai dosen yang membekas dalam perjalanan akademik saya. Ketertarikan saya untuk memilih penelitian tugas akhir di bawah bimbingan beliau berawal dari ketertarikan saya pada mata kuliah Kimia Inti dan Radiasi yang beliau ajarkan. Dari mata kuliah itu, saya melihat sosok beliau sebagai seorang saintis yang jujur, tegas, dan sederhana. Teringat beliau setia menggunakan mobil VW Safari yang selalu di parkir di depan kantor beliau.
Saya masih teringat jelas, saat ujian mata kuliah tersebut dilaksanakan di Gedung Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB. Saya menjadi mahasiswa yang paling cepat menyelesaikan ujian, keluar ruangan lebih dulu, dan akhirnya mendapat nilai A. Kenangan itu melekat kuat, karena memperlihatkan betapa beliau mampu membuat ilmu yang sulit sekalipun terasa logis dan menantang untuk saya dalami.
Pada waktu skripsi, beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian Teknologi Nuklir (PPTN) BATAN Bandung. Saya diberi kesempatan melakukan penelitian di kawasan nuklir Bandung, yang memiliki reaktor TRIGA Mark II berkapasitas 250 kW (diresmikan 1965 dan ditingkatkan menjadi 2 MW pada tahun 2000). Beliau dengan penuh kepercayaan memberi izin bagi saya untuk mengiradiasi sampel berupa serum darah manusia langsung di reaktor. Itu pengalaman yang amat berharga yang membuka wawasan riset saya di kemudian hari.
Saya juga masih mengingat pesan beliau ketika saya lulus S1 pada tahun 1992. Dengan nada bercanda tetapi penuh makna, beliau berkata: “Yang penting lanjut sampai S3, menjadi doktor sastra juga nggak apa-apa.”
Pesan sederhana itu mendorong saya untuk tidak berhenti belajar. Kini saya menyadari betapa kalimat itu adalah dorongan moral seorang pembimbing kepada mahasiswanya.
Setelah lulus S2 di ITB tahun 1995, saya tidak pernah lagi bertemu beliau secara langsung. Terakhir kali saya berkomunikasi dengan beliau adalah melalui SMS pada bulan Oktober 2012. Setelah itu, komunikasi kami terputus, hingga saya mendengar kabar duka ini.
Selamat jalan, Pak Harjoto. Terima kasih atas ilmu, bimbingan, dan keteladanan yang Bapak wariskan. Semoga Allah Ta’ala menerima segala amal ibadah Bapak, mengampuni dosa-dosanya, dan menempatkannya di tempat terbaik di sisi-Nya.
Al-Fatihah.

