Perjalanan Saya Meraih Sertifikasi Dosen sebagai Profesor di Indonesia

Menjadi seorang profesor bukanlah akhir dari perjuangan akademik, melainkan awal dari tantangan baru. Setelah lebih dua dekade berkarier di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) dengan jabatan profesor selama 12 tahun, saya kembali ke tanah air untuk mengabdi di Universitas Negeri Malang (UM) pada bulan Juni 2022. Kepulangan ini bukan sekadar perpindahan institusi, melainkan panggilan hati untuk berkontribusi langsung bagi pendidikan tinggi Indonesia.

Namun, status saya sebagai profesor penyetaraan (mungkin satu-satunya) dari luar negeri menghadirkan tantangan unik. Meskipun telah menyandang jabatan fungsional profesor, saya belum memiliki Sertifikasi Dosen (Serdos) yang diwajibkan oleh regulasi nasional. Dari sinilah dimulai perjalanan cukup panjang yang penuh dengan hambatan teknis, komunikasi antar instansi, dan perjuangan administratif.

Sejak awal, masalah utama terletak pada sistem SISTER. Saat saya mencoba mengakses menu kepesertaan serdos, yang muncul hanyalah layar kosong. Status saya terbaca “tidak layak” hanya karena sistem menganggap seorang profesor otomatis sudah serdos. Padahal, bagi saya yang berasal dari penyetaraan luar negeri, hal ini tidak berlaku.

Dalam percakapan WA dengan staf kepegawaian UM, Bu Eka, saya berkali-kali menyampaikan kondisi blank tersebut:

“Masih kosong Bu Eka. Blank. Putih saja, tidak ada tulisan…”

Pihak UM pun mengeluarkan surat resmi (Nomor: 8.4.50/UN32.II/KP/2025, tanggal 8 April 2025) yang ditujukan ke Direktorat Sumber Daya Diktiristek, berisi permohonan agar saya dapat dimasukkan dalam daftar peserta serdos melalui aplikasi SISTER. Surat ini menjadi landasan formal agar saya tidak terhambat hanya oleh kesalahan teknis sistem.

Namun, perjalanan tidak berhenti di sana. Di balik layar, komunikasi intensif berlangsung, mulai dari pertukaran WA dengan operator serdos, klarifikasi mengenai tunjangan dan keuangan, hingga desakan agar kementerian segera membuka akses sistem.

Kendala ini memerlukan intervensi lebih lanjut. Bahkan Prof. Ismunandar, sahabat saya sekaligus mantan Dirjen Belmawa, ikut turun tangan menghubungi Prof. Suning Kusumawardani (Direktur Sumber Daya Dikti). Setelah menyelesaikan rapat jam 5.30 sore, Prof. Ismunandar yang kini bertugas sebagai Staf Ahli di Kementerian Kebudayaan segera membantu mengomunikasikan persoalan ini.

Hari-hari terakhir Juni 2025 menjadi masa paling menegangkan. Tanggal 30 Juni 2025 adalah batas akhir pengunggahan syarat serdos. Pagi itu, akun saya di SISTER masih kosong. Saya nyaris pasrah. Namun berkat dukungan kolega dan komunikasi maraton dengan pihak kementerian, akses saya akhirnya dibuka tepat pada hari terakhir.

Sore itu, 7 jam sebelum penutupan, saya segera mengunggah dokumen integritas karya ilmiah dan melengkapi seluruh persyaratan. Saya menyampaikan terima kasih kepada Pak Karim yang dengan sabar terus mengawal status serdos di SISTER saya. Rasa syukur saya panjatkan:

“Alhamdulillah sudah dibuka dan saya sudah upload borang integritas karya ilmiah…”

Beberapa bulan kemudian, penantian panjang itu terbayar. Hasil sertifikasi dosen 2025 menuliskan kata yang paling dinantikan: LULUS

Komentar penilaian menyebutkan bahwa saya dinilai memiliki kemampuan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang sangat baik. Penilaian itu menegaskan bahwa perjuangan bukanlah sia-sia. Kini, sebagai profesor di UM, saya telah resmi mengantongi sertifikasi dosen yang sah.

Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa menjadi dosen di Indonesia bukan hanya soal jabatan akademik, tetapi juga soal melewati birokrasi, sistem, dan aturan yang kompleks. Bagi saya pribadi, kelulusan serdos 2025 adalah sebuah titik balik: dari profesor penyetaraan di luar negeri, kini menjadi profesor penuh dengan legitimasi nasional di UM. Sebuah perjuangan mengatasi birokrasi yang tidak mudah dan perlu intervensi yang akhirnya berbuah manis.

Alhamdulillah.