Universitas sebagai Rumah Sakit yang Sakit

Bayangkan sebuah rumah sakit besar yang dulu menjadi kebanggaan kota. Rumah sakit itu penuh dokter berdedikasi, ruang belajar, dan misi kemanusiaan. Semua orang tahu bahwa di tempat itulah ilmu dan penyembuhan bertemu. Tetapi seiring waktu, rumah sakit itu berubah tanpa disadari. Ia masih memiliki gedung modern, seragam putih, dan prosedur medis yang tampak profesional. Namun jiwanya, yaitu komitmen terhadap kesehatan, perlahan menghilang.

Inilah yang digambarkan Peter Fleming dalam Dark Academia. Universitas masa kini adalah rumah sakit yang sakit. Sebuah institusi yang dari luar tampak hidup, tetapi di dalamnya mengalami kerusakan mendalam. Universitas mempertahankan ritual akademik, tetapi substansi ilmunya digantikan logika korporasi seperti efisiensi, brand, dan persaingan. Akademisi, seperti dokter dalam rumah sakit yang sakit itu, tidak lagi dinilai dari berapa banyak pasien yang mereka sembuhkan atau pengetahuan yang mereka bangun. Mereka dinilai dari hasil produksi yang dihitung melalui publikasi, sitasi, hibah penelitian, dan berbagai metrik lain yang dianggap sebagai ukuran mutu.

Kondisi ini, menurut Fleming, bukan lagi penyimpangan kecil. Ini adalah gejala penyakit kronis. Terbentuk budaya kerja yang disebut profesionalisme toksik, yaitu budaya yang memaksa akademisi terlihat sibuk, produktif, dan penuh semangat, meski sebenarnya mereka kelelahan dan tertekan. Dalam rumah sakit yang sakit tadi, dokter harus tetap tersenyum meskipun jam tidurnya hancur dan nuraninya mulai terseret oleh beban pekerjaan yang tidak manusiawi.

Masalah berikutnya adalah pertumbuhan administrasi yang justru paling subur. Para manajer rumah sakit, yang jarang menyentuh pasien secara langsung, terus membuat aturan, audit, dan target baru setiap waktu. Sebaliknya, dokter dan perawat yang bekerja langsung di lapangan semakin tertekan. Akademisi hidup dalam kondisi yang sama. Jumlah pejabat, komite, dan biro terus meningkat, sementara ruang untuk pengajaran dan penelitian yang tulus semakin menyempit.

Yang paling memilukan adalah munculnya sinisme kolektif. Semua orang di dalam rumah sakit itu sebenarnya tahu ada yang salah. Mereka saling mengeluh di kamar istirahat, saling melempar candaan tentang absurditas sistem, tetapi tetap melanjutkan permainan yang sama. Rasa takut kehilangan pekerjaan dan kerasnya kompetisi membuat mereka merasa tidak punya pilihan. Di kampus, para akademisi juga memahami bahwa publish or perish adalah resep yang kejam, tetapi mereka tetap menjalaninya setiap hari.

Dalam kondisi seperti itu, brand menjadi hal yang paling penting. Rumah sakit yang sakit tadi sibuk mempercantik citra di media, memasang baliho prestasi, dan mempromosikan fasilitas yang setengah berfungsi. Semua itu dilakukan demi mempertahankan rating dan ranking. Universitas melakukan hal yang sama. Mereka mengejar peringkat internasional dan kampanye citra, sementara kualitas pendidikan dan integritas penelitian perlahan terpinggirkan. Pengetahuan berubah menjadi dekorasi, bukan lagi tujuan.

Analogi rumah sakit yang sakit ini membantu kita memahami bahwa banyak persoalan akademik bukanlah kegagalan individu. Burnout bukan kelemahan pribadi. Burnout adalah reaksi wajar terhadap sistem yang tidak sehat. Seperti dokter yang akhirnya memilih membuka klinik kecil karena tidak tahan dengan rumah sakit yang kian korup, Fleming mengingatkan bahwa keluar dari akademia bukanlah kegagalan. Keluar adalah tindakan penyelamatan diri.

Jika kita ingin universitas kembali sehat, kita harus berani mengakui penyakitnya. Universitas tidak membutuhkan perbaikan kosmetik atau aturan tambahan yang membebani. Universitas membutuhkan rekonstruksi etos. Ia harus kembali menjadi tempat belajar, bukan pabrik angka. Harus kembali menjadi pusat ilmu, bukan pusat administrasi. Harus kembali menghormati manusia, bukan metrik.

Karena rumah sakit yang sakit tidak bisa menyembuhkan siapa pun, termasuk dirinya sendiri.