Simulakra Ilmu Pengetahuan: Satir tentang Ranking 2%

Dulu, ilmu pengetahuan dibangun di atas rasa ingin tahu. Orang sibuk mencari kebenaran, sibuk bertanya mengapa langit biru, bagaimana listrik bekerja, atau apa inti dari materi. Ada yang meledakkan laboratorium, ada yang tenggelam dalam buku-buku tebal, semua demi satu hal: kebenaran.

Tapi dunia makin kompleks. Populasi ilmuwan membengkak, publikasi mengalir seperti air bah, dan universitas mulai bersaing bukan lagi soal siapa yang menemukan kebenaran, tapi siapa yang punya “impact factor” lebih tajam dari pedang samurai.

Lalu muncullah formula. Indeks, h-index, hm-index, g-index, hingga “top 2% scientists.” Angka-angka ini mula-mula diciptakan untuk memotret dinamika ilmu, tapi perlahan berubah menjadi panggung sandiwara. Ranking bukan lagi cermin kebenaran, melainkan panggung popularitas: siapa jago main statistik, siapa pandai membaca pola sitasi.

Maka dimulailah era baru. Orang-orang berlarian mengejar angka, bukan gagasan. Paper ditulis bukan untuk membuka cakrawala, melainkan untuk memenuhi target. Publikasi ilmiah bukan lagi pembuka jalan kebenaran, tapi wasit yang menentukan naik pangkat atau tidak. Universitas pun ikut bersorak: ranking tinggi berarti mahasiswa berdatangan, dana penelitian mengalir, brosur kampus semakin kinclong.

Dan akhirnya muncullah sertifikat “Top 2% Scientists.” Ada logo, ada QR code, ada nama Stanford, Elsevier. Semua rapi, semua sah. Tapi, apa artinya? Bukankah ini simulakra, seperti kata Baudrillard? Realitas palsu yang lebih nyata dari kenyataan? Bukankah ini semacam medali plastik di olimpiade yang diciptakan sendiri?

Lucunya, bahkan yang masuk daftar pun sering merasa kosong. “Saya masuk top 2%,” katanya, “tapi apa bedanya dengan kemarin, saat saya masih bangun pagi, menulis proposal, dan dimarahi reviewer?” Ranking memberi sorak sorai sementara, tapi di balik itu ada keheningan: makna sains yang sesungguhnya kian kabur.

Kini, filsuf pun tersenyum sinis: ilmu pengetahuan, yang dulu lahir untuk mencari kebenaran, kini dipermainkan sebagai permainan angka. Orang sibuk mengejar peringkat, bukan kebenaran. Ilmuwan jadi gladiator di arena sitasi, saling sikut dalam kompetisi yang diciptakan sistem.

Dan saya, yang namanya juga masuk ke daftar itu, hanya bisa tertawa getir: “Apakah ini prestasi, atau sekadar ilusi?” atau saya menderita imposter syndrome?