Pagi itu, Pak Ranu duduk di ruang kerjanya yang sempit. Sempit sekali. Kalau dia menarik napas terlalu panjang, rak buku di belakangnya seperti ikut bergeser, seolah hendak merangkul kepalanya yang makin botak. Ia menatap layar laptop yang nyala sejak subuh. Di luar, suara mahasiswa ribut seperti pasar, tapi di dalam ruangannya hanya ada satu suara. Pikirannya sendiri, yang lari ke mana-mana seperti anak ayam kehilangan induk.
“Kenapa aku tidak bisa fokus?” gumamnya.
Ia dosen. Ilmuwan. Manusia yang konon hidup dari cinta pada ilmu. Tapi pagi itu, fokusnya lari ke tagihan listrik, ke cicilan mobil, ke email spam yang menawarkan webinar menulis jurnal Scopus. Semua hal yang tidak berhubungan dengan proposal riset di hadapannya.
“Tuhan,” katanya lirih. “Kalau memang kebahagiaan itu datang dari pikiran yang fokus, berarti aku ini manusia paling tidak bahagia di kampus.”
Tiba-tiba pintu diketuk. Seorang mahasiswa masuk, menyerahkan skripsi sambil berkata, “Maaf Pak, saya belum selesai revisi karena pikiran saya suka berkelana. Tidak fokus.”
Pak Ranu terdiam. Ia ingin tertawa. Ia juga ingin menangis. Lalu ia tersenyum getir. “Sama,” katanya. “Pikiranku juga.”
Setelah mahasiswa itu pergi, Pak Ranu kembali duduk. Ia memandang layar yang kini menyala dengan tab kimia kuantum yang tidak ia pahami. Lalu ia menutup laptopnya. Menarik napas. Menutup mata.
Dan entah bagaimana, tiba-tiba seluruh kebisingan hilang.
Ia melihat dirinya berdiri di tengah perpustakaan tua, di mana setiap buku seperti bernapas. Ia menyentuh satu, membuka halaman yang isinya rumus berantakan. Aneh, tetapi rumus itu membuat hatinya hangat. Ia membaca. Ia tenggelam. Dunia luar menghilang. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia fokus.
Ketika ia membuka mata, jam dinding menunjukkan waktu sudah lewat dua jam.
Dua jam tanpa pikiran terbang, tanpa kecemasan, tanpa kegaduhan kampus. Dua jam damai.
Pak Ranu berdiri. Merapikan meja. Menghidupkan kembali laptop itu.
Dengan tenang ia mulai mengetik proposal risetnya. Jari-jarinya bergerak seperti menemukan rumah. Tidak cepat, tidak lambat. Tapi pasti.
“Ah,” katanya dalam hati. “Mungkin ini kebahagiaan para akademisi. Saat kita berhasil memaksa dunia diam dan hanya ilmu yang berbicara.”
Di luar ruangan, dunia tetap ribut. Tapi di dalam benaknya, ada keheningan yang kokoh.
Dan bagi Pak Ranu, itulah surga yang paling sederhana. Dan paling sulit dicapai.