Esensi kemanusiaan dibalik kemewahan

Hari ini saya terbang ke Kuala Lumpur untuk mengunjungi apartemen sewa anak saya. 2,5 jam di pesawat dari Surabaya, ditambah 1 jam naik mobil dari bandara. Sungguh, betapa berbedanya dengan kehidupan saya di Malang sekarang, setelah pindah dari Johor Bahru tahun lalu.

Di lantai 27 apartemen mewah itu, ada pintu berlapis kunci, dijaga dengan ketat sekali. Seperti garis pembatas antara dunia nyata yang dingin dengan kehangatan yang biasa ada. Di balik pintu itu, ada yang tenggelam dalam kemewahan tapi sebenarnya merasa hampa.

Nah, berbicara soal hampa, pernah mendengar kisah Howard Hughes? Orang kaya raya, sukses sekali, tapi malah menjadi sakit jiwa dan kesepian. Dia adalah bukti hidup bahwa sukses material bisa menjadi jebakan, membuat kita terjebak dalam isolasi.

Aristotle mengatakan, manusia itu makhluk sosial. Bukan makhluk yang harus terisolasi oleh harta atau bangunan tinggi. Di kota besar mungkin ada fasilitas mewah, tapi seringkali menjadi jarak antarmanusia, hubungan menjadi lebih steril.

Cobalah bandingkan dengan Malang, yang lebih sederhana. Di sini orang-orang hidup lebih akrab, lebih penuh tawa dan kehangatan. Bisa dikatakan, kehidupan yang lebih sederhana itu lebih sejalan dengan sifat manusia yang sebenarnya. Senyum tulus, sapaan hangat; itulah yang dinamakan kekayaan.

Kota besar yang tidak ramah kadang membuat kita lupa akan nilai-nilai kemanusiaan. Kita mulai merasa hampa, terperangkap dalam bangunan menjulang tinggi. Jadi, apa sebenarnya yang kita cari? Harta? Kemewahan? Atau mungkin sesuatu yang lebih mendalam?

Mungkin sudah saatnya kita semua merenungkan lagi apa yang penting dalam hidup. Kita ini bagian dari jaringan kehidupan yang saling terhubung. Kita saling membutuhkan, saling melengkapi. Jangan sampai terjebak dalam pengejaran harta dan kesuksesan sampai lupa akan kebersamaan yang nyata.