Selama dua hari, saya tenggelam dalam sebuah program yang berbicara tentang perjalanan universitas menuju derajat World Class University (WCU). Berikut adalah renungan singkat dari serangkaian program tersebut.
Bayangkan saja, dunia pendidikan adalah sebuah hutan belantara dengan beragam spesies yang hidup di dalamnya. Ada universitas yang berfungsi sebagai pasar, di mana ribuan jiwa muda berdatangan, mencari ilmu layaknya seorang pedagang mencari barang di pasar. Ada pula universitas yang menyerupai rumah sakit, tempat ilmu digabungkan dengan pelayanan. Ada universitas yang memiliki struktur seperti pemerintahan, di mana segala keputusan datang dari atap piramida. Ada juga universitas yang bersinar terang seperti bintang di tengah malam, menjadi pusat perhatian banyak orang. Namun, di balik kilauannya, apakah bintang tersebut benar-benar memiliki substansi?
Dalam gema dunia pendidikan yang bergulir bagai ombak di lautan luas, ada universitas yang tampaknya terbuai dalam bayangan diri sendiri, mengejar kilauan luar daripada kedalaman isi. Mereka, dengan penuh semangat, menuangkan kekayaan untuk membangkitkan struktur megah atau memadukan citra yang mempesona. Namun, sumber kekayaan itu, seringkali, ditempuh melalui lorong pintas: mengundang mahasiswa dalam jumlah yang melimpah, sehingga dosen terperangkap dalam putaran waktu tanpa jeda, tenggelam dalam tugas mengajar yang membebani. Melihat satu dosen yang terkurung di tengah kerumunan mahasiswa, layaknya seorang maestro di tengah orkestra yang tiada henti bermain. Dan sumber daya untuk kemegahan tersebut? Datang dari jerih payah mahasiswa yang berharap mendapatkan ilmu dengan kualitas terbaik. Namun, apa makna gemerlap tersebut jika esensi pendidikan menjadi samar di baliknya?
Dalam bayang-bayang universitas modern, ada dua siluet yang menonjol: satu yang mengedepankan idealisme tulus, dan satu lagi yang menari-nari dalam kilauan branding dan pendanaan. Di tengah gedung-gedung pencakar langit pengetahuan, apakah kita telah menjual jiwa demi sinar gemerlap citra?
Bayangkanlah, dua dunia pendidikan berbeda. Di satu sisi, ada kampus yang meresap dalam ketulusan idealisme; sebuah tempat di mana setiap sudut ruang kelas bergema dengan percakapan yang mendalam. Seorang dosen berinteraksi dengan segelintir mahasiswa, memastikan bahwa setiap kata yang diucapkan mendapatkan gema, setiap tanya yang melayang mendapat respons. Kemudian, pindahkan pandanganmu ke kampus lain: struktur megah, cahaya yang mempesona, namun di baliknya, derap mesin kapitalisme yang tak kenal lelah menari. Di ruang tersebut, seorang dosen dengan mata yang sembab berupaya untuk meraih perhatian puluhan mahasiswa dalam satu ruangan sempit, di mana setiap wajah menunjukkan rasa haus akan ilmu yang otentik.
Branding memang bukan entitas jahat; ia adalah seni dalam membangun citra. Namun, ketika branding menjadi dewa, mengendalikan arus pendidikan, bukankah kita telah kehilangan esensi? Adakah universitas masih menjadi tempat pencarian ilmu, atau telah bermetamorfosis menjadi pasar yang menjual ilmu demi keuntungan?
Uang, dengan suara dominannya, seringkali membungkam idealisme. Di antara gedung dan bangku kuliah, kualitas pendidikan sering kali tersingkir, menjadi korban dari permainan finansial dan citra. Akankah kita terus berdiam, atau mulai mencari kembali jiwa pendidikan yang sejati?
Renungan ini membawa saya pada sebuah pertanyaan: Apa yang sebenarnya kita inginkan dari pendidikan di tanah air kita? Apakah kita menginginkan pendidikan yang berakar pada idealisme dan kualitas, atau pendidikan yang hanya mengejar prestasi semu tanpa serius memajukan ilmu pengetahuan? Sebagai bangsa, kita harus merenung dan memutuskan arah pendidikan kita di masa depan. Kita harus kembali pada esensi, pada inti dari apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan tinggi: mencerdaskan anak bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jadi, mari kita renungkan dan menilai keadaan perguruan tinggi kita. Apakah kita benar-benar mencerdaskan anak bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan?