Dalam kesenyapan malam yang pekat, aku terpaku pada layar, menyerap setiap kata yang terlontar dari bibir-bibir yang tampak bersemangat. Podcast politik yang kudengar, seolah menjadi teater dimana para elit beradu pikiran, saling menyerang dengan kata-kata tajam, dan berlomba-lomba merebut tahta kekuasaan. Mereka berbicara tentang republik dengan penuh gairah, namun ironisnya, lupa bahwa republik bukan sekadar tanah dan batu, melainkan nyawa-nyawa yang bernapas di dalamnya.
Sebuah bisikan dari masa lalu kembali menggema di telingaku, “Semakin sering kita tenggelam dalam diskusi politik, semakin kita menyadari bahwa pertarungan di puncak piramida hanyalah tentang kepentingan pribadi para elit.” Sungguh, dalam lantunan politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat, justru rakyat kerap menjadi bayang-bayang yang terpinggirkan.
Rakyat, dengan mata yang bersinar penuh harapan, seringkali melihat tokoh politik sebagai pahlawan yang akan membawa perubahan. Namun, dalam kenyataannya, politisi kerap menutupi noda-noda di wajah mereka dengan topeng kebaikan, sementara dengan mudahnya menunjukkan cacat lawan mereka. Dalam arena politik, kejujuran seakan menjadi pedang bermata dua.
Untuk memahami siapa sejatinya sosok capres yang hendak kita dukung, kita tak bisa hanya terbuai oleh rayuan para pendukungnya. Kita harus mendengar bisikan-bisikan dari mereka yang berdiri di sisi berlawanan. Karena dalam setiap celaan, seringkali tersimpan benih-benih kejujuran yang tak terbendung.
Politik, sebuah tarian kata yang merefleksikan kompleksitas. Namun, di balik selubung misteri itu, kita harus selalu mengingat esensi sejati politik: sebagai sarana mewujudkan keadilan bagi rakyat, bukan sekadar alat bagi ambisi pribadi.