Dalam lipatan malam yang sunyi, ketika doa-doa berbisik lembut bagai desauan daun-daun kering, ada kontradiksi yang terselubung. Di antara kita, ada yang dengan kesungguhan mendalam, mengangkat tangan, menundukkan kepala, berbisik pada Semesta. Namun, ada pula yang menjadikan doa sebagai tarian tanpa musik, sebuah pagelaran yang dilakoni bukan dari kedalaman hati, melainkan sekadar tata cara.
Dengan sentuhan sastra yang halus dan mendalam, gambaran ini bisa dilihat sebagai sebuah pentas senja. Sebuah drama di mana para aktor berdoa bukan untuk Sang Pencipta, melainkan untuk mata yang tengah memandang. Mereka melafalkan kata-kata bagai syair yang terdengar indah, namun tanpa kedalaman makna; bergerak dengan ritme yang sempurna, namun tanpa keikhlasan.
Di tengah gemerlap ritual dan upacara, kita sering terjebak dalam keramaian tanpa esensi. Sebagaimana ajaran Islam, doa bukan sekadar lantunan kata atau gerakan tubuh, melainkan sebuah dialog rohaniah dengan Sang Khalik. Namun, ironisnya, banyak di antara kita yang menjadikan doa sebagai pertunjukan tanpa jiwa, sebuah tarian untuk memenuhi norma sosial, bukan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam renungan yang mendalam, mungkin kita perlu merenung: Apakah doa kita benar-benar tulus? Apakah kita benar-benar memahami setiap kata yang kita lantunkan? Ataukah kita hanya menjadi pelakon dalam drama kehidupan, berdoa demi tontonan, bukan demi dialog dengan Yang Maha Esa?
Dalam kesunyian, mungkin kita akan menemukan jawaban sejati. Dan mungkin, kita akan kembali ke inti berdoa, bukan sebagai upacara kosong, melainkan sebagai jembatan rohaniah dengan Sang Pencipta.