Menelusuri jejak Jenius: Refleksi sebagai dosen

Saya kembali teringat sebuah buku menarik yang saya beli bertahun-tahun yang lalu ketika masih tinggal di Malaysia yang berjudul “Genius: Great Inventors and Their Creations” oleh Jack Challoner. Lalu sambil memegang dan membuka buku itu saya berpikir dan merenungkan, apakah kita pernah mencari jawaban atas misteri kejeniusan? Dari Archimedes, sang ahli fisika, hingga Tim Berners-Lee, saintis komputer, yang mengubah cara kita berkomunikasi dengan internet, apa yang membuat mereka begitu istimewa?

Mereka, seperti kita, adalah hasil dari pertemuan antara kodrat ilahi dan lingkungan yang membentuknya. Meski otak mereka mungkin berbeda dengan kita, tanpa lingkungan yang mendukung, mungkin tak satu pun dari mereka yang akan mencapai puncak kejeniusannya. Keluarga, pendidikan, dan lingkungan sosial mereka menjadi tinta yang menulis kisah mereka.

Sebagai dosen, kita bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pelukis masa depan. Terlalu sering, kita terjebak dalam angka-angka yang tak lebih dari ilusi, melupakan esensi pendidikan: membentuk generasi muda menjadi pemikir kritis, inovator, dan pemimpin. Kita harus melihat lebih jauh dari sekadar angka, dan fokus pada pengembangan potensi tiap individu. Dalam kompleksitas dunia, mata hati anak-anak kita mampu menembus kabut, asalkan diberi panduan yang tepat dan pemahaman yang mendalam. Anak-anak Indonesia ini, saya percaya, memiliki benih potensi yang luar biasa. Namun, benih tersebut hanya akan bersemi jika tanah dan udaranya mendukung. Ini tanggung jawab kita sebagai dosen.

Lantas, apa yang bisa kita petik dari kehidupan para jenius yang telah merubah dunia ini? Bagaimana kita bisa menumbuhkan tanah yang subur bagi lahirnya jenius-jenius selanjutnya?

Pertama, kejeniusan bukan sekadar angka IQ. Lebih dari itu, ia tentang rasa ingin tahu, ketekunan, dan kemampuan melihat dunia dengan cara berbeda. Oleh karena itu, pendidikan kita harus lebih dari sekadar menghafal, tetapi membangkitkan imajinasi.

Kedua, lingkungan yang mendukung adalah kunci. Ini berarti memberikan akses ke pendidikan berkualitas, dan menciptakan budaya yang menghargai pengetahuan. Para jenius dari masa lalu tumbuh di lingkungan yang mendorong pertanyaan, dan kita harus menciptakan hal yang sama untuk generasi mendatang.

Ketiga, setiap anak memiliki potensi kejeniusan dalam bidangnya. Dengan mendukung dan memelihara potensi ini, kita bisa menciptakan generasi baru pemikir-pemikir besar.

Akhir kata, kejeniusan bukanlah kebetulan. Para jenius yang telah merubah dunia dikelilingi oleh mereka yang mendukung dan menantangnya. Sebagai dosen, kita memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem yang mendukung kejeniusan. Kita semua, sebagai bagian dari masyarakat, memiliki tanggung jawab dalam hal ini.