Ironi eksistensial mengenai keberadaan

Dalam zaman digital, sebuah fenomena bernama selfie muncul, bagai titik cahaya yang berkelip di tengah kegelapan. Sebuah tindakan yang tampaknya sederhana, namun mengandung lapisan makna yang tak terhingga. Ketika seseorang membagikan potret dirinya, bukan sekadar wajah yang dia tunjukkan, melainkan sebuah jiwa yang tengah mencari tempat di dunia.

Namun, ada paradoks yang tersembunyi di balik setiap jepretan. Dalam upaya menonjolkan diri, seseorang justru menyerahkan eksistensinya pada tangan orang lain, pada komentar-komentar yang datang dari ruang maya. Sebuah ruang yang tak kasat mata, namun memiliki kekuatan untuk mendefinisikan keberadaan.

Kehidupan, dengan segala kerumitannya, memang penuh paradoks. Di satu sisi, ada keinginan mendalam untuk dikenal, untuk diakui. Namun, di sisi lain, eksistensi yang sejati bukanlah yang datang dari pengakuan semata, melainkan dari pemahaman dan penerimaan diri sendiri.

Dan fenomena ini tak hanya berlaku pada diri individu. Di dunia akademik, kehebatan seorang dosen seringkali diukur dari angka-angka prestasi yang terkadang bersifat semu. Namun, bukankah kehebatan sejati seorang dosen terletak pada intelektualitasnya? Pada pemikiran-pemikiran yang bernas, karya-karya yang diakui oleh rekan sejawat, bukan sekadar angka-angka yang bisa memudar seiring waktu.

Dalam kecepatan zaman ini, sungguh ironis, bahwa di antara hiruk-pikuk informasi dan kemajuan yang tiada henti, kita tersandera oleh pertanyaan eksistensial yang tak kunjung menemukan jawabannya. Adakah akhir dari pencarian ini? Mungkin, saat kita mengerti bahwa arti keberadaan bukanlah sekadar bagaimana pandangan dunia terhadap kita, melainkan bagaimana kita mengintip ke dalam dan merangkul apa yang ada. Dan di sanalah, barangkali, kita akan menemui hakikat hidup yang sebenarnya.