Di bawah teduh warung, pagi ini, sambil menyeruput bubur kacang hijau, pikiran saya melayang ke ranah pendidikan. Betapa jiwa pengajar ini tak pernah lelah merenung. Dunia, dengan irama yang tak pernah berhenti, berputar dalam tarian yang abadi. Kecepatan yang konstan, bagai sebuah puisi tanpa kata, menjadi saksi atas lomba yang tiada akhir. Kita ini manusia, makhluk yang dengan segala kompleksitasnya, kerap terperangkap dalam pusaran hasrat dan ambisi. Sungguh, sebuah ironi yang mendalam. Dalam setiap detik yang berlalu, saya merenung: ada hal yang memang patut diperlombakan, namun ada pula yang seharusnya kita jalin bersama, tanpa harus ada yang berdiri di atas podium. Bukankah kita semua berlomba menuju satu tujuan: kemajuan, kebahagiaan, dan kenyamanan? Namun, apakah kita benar-benar memilih lomba yang sesuai dengan jiwa kita?
Pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat kita merenung dan mendalami, kini berubah wajah menjadi ajang kompetisi yang menyesakkan. Sungguh, sebuah paradoks! Mengapa kita tergesa-gesa dalam belajar, padahal setiap jiwa memiliki irama belajarnya sendiri? Apa artinya gelar cepat, jika di dalamnya tak ada kedalaman pemahaman?
Dan mahasiswa yang bersemangat mencipta, namun ide-idenya hanyalah bayang-bayang dari dosen. Bukankah ini seolah menjadi tarian dosen, bukan mahasiswa? Dan ketika universitas beradu untuk mendapatkan mahasiswa berbakat, saya bertanya dalam hati: apakah ini esensi sejati pendidikan? Sebuah universitas, menurut renungan saya, akan lebih mulia jika mampu mengangkat mahasiswa yang belum bercahaya menjadi bintang yang bersinar, bukan hanya memoles yang sudah berkilau.
Dan di tengah gema dunia akademik, muncul fenomena yang mengusik: perlombaan karya ilmiah yang tergesa-gesa. Seakan-akan jumlah menjadi tolak ukur, tanpa memandang esensi dan integritas di baliknya. Banyak karya yang lahir begitu saja, tanpa proses yang mendalam. “Sim salabim”, dan sebuah karya siap untuk dipersembahkan. Namun, apa maknanya jika tak ada transparansi dan akuntabilitas? Bukankah inti dari penelitian adalah mencari kebenaran dengan hati dan pikiran yang jernih? Kita harus waspada, agar tak terjebak dalam kilauan semu publikasi, dan memastikan setiap karya benar-benar berarti.
Mungkinkah saatnya kita merenung kembali, apa sejatinya tujuan kita dalam berlomba? Adakah kita terlupa pada makna sejati dari setiap langkah yang kita tapaki? Sebuah pemikiran yang mungkin perlu kita dengungkan bersama.