Kelicikan dalam panggung politik: Refleksi dan pilihan

Saya baru saja melihat sebuah podcast di YouTube yang menceritakan mengenai kelicikan pemain-pemain politik. Saya menjadi tersadarkan bahwa tahun ini dan tahun depan, ketika bayang-bayang politik mulai memanjang, kita dihadapkan pada pertanyaan esensial: Apakah kelicikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari panggung politik? Dalam tahun politik ini, kita melihat banyak wajah dan dengar banyak suara, namun di balik itu, berapa banyak kelicikan yang tersembunyi?

Orang licik, dengan ciri khasnya yang tidak suka melihat kebahagiaan orang lain, bahkan merasa bahagia melihat penderitaan orang lain, seringkali menjadi aktor utama dalam drama politik. Mereka berpikir untuk mencelakakan, mencari jalan pintas, dan menjadi ahli dalam menipu. Namun, apa yang mereka peroleh? Sebuah kursi di puncak kekuasaan yang didapat dengan cara yang tidak mulia? Atau sebuah kepuasan sesaat yang akan sirna ketika mereka melihat bayang-bayang masa lalunya?

Kelicikan dalam politik mungkin membuat seseorang tampak berkuasa, namun pada akhirnya, ia akan merasakan bahaya dari sifat liciknya sendiri. Sebuah kehidupan yang penuh dengan kegelisahan, tanpa berkah, dan selalu dihantui oleh fitnah. Dimanapun ia berada, cobaan selalu menghampirinya, dan dosa-dosa masa lalunya akan selalu mengikuti.

Dalam dunia politik, mungkin ada yang berpendapat bahwa kelicikan adalah bagian dari permainan. Namun, apakah ini benar-benar norma yang seharusnya kita terima? Bukankah politik seharusnya menjadi wadah untuk melayani, bukan untuk memanfaatkan? Bukankah kejujuran dan integritas lebih berharga daripada segala bentuk kelicikan?

Mari kita renungkan sebuah pertanyaan: Apakah kita ingin menjadi bagian dari dunia politik yang penuh kelicikan, ataukah kita ingin menjadi perubahan yang membawa kejujuran dan integritas kembali ke panggung politik? Pilihan ada di tangan kita.

Dalam gema waktu, sejarah akan berbisik, menceritakan kisah-kisah tentang manusia dan pilihan-pilihannya. Setiap tindakan, setiap kata, dan setiap desisi yang diambil, akan menjadi catatan yang tak pernah pudar. Namun, di balik hiruk pikuk dunia dan gemerlap panggung politik, ada satu kebenaran abadi: bahwa segala sesuatu akan kembali pada Sang Pencipta.

Ketika debu-debu kelicikan mulai mengendap, dan tirai panggung politik tertutup, kita akan berdiri di hadapan-Nya. Di sana, tidak ada lagi topeng, tidak ada lagi sandiwara. Hanya ada kita, tindakan-tindakan kita, dan penilaian-Nya. Sebagai orang beriman, kita percaya bahwa Tuhan melihat lebih dalam dari apa yang tampak oleh mata manusia. Dia menilai niat di balik tindakan, dan kasih sayang di balik kata-kata.

Maka, biarlah sejarah bercerita. Biarlah waktu menjadi saksi. Karena pada akhirnya, hanya di hadapan Tuhan, kita menyerahkan segala-galanya, berharap rahmat dan keadilan-Nya di hari akhir. Apakah kesimpulan ini adalah bentuk kepasrahan saya melihat dunia politik yang kotor ini? Entahlah.