Etika akademis bagai seutas benang yang terus ditarik, mencari maknanya. Buku karya Edward Shils, “The Calling of Education: The Academic Ethic and Other Essays on Higher Education”, bagaikan sebuah peta yang menuntun kita melihat etika di dunia pendidikan. Namun, adakah kita cukup dengan sekadar memahami? Etika akademis bukan sekadar tentang plagiasi, ia lebih dari itu, adalah sebuah oase di tengah gurun; luas, mendalam, dan tak terbatas.
Ketika kita berbicara tentang ketidakjujuran, apakah itu hanya tentang memberikan informasi yang salah? Atau mungkin, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tersembunyi di balik tirai ketidakpedulian dan keegoisan. “Penelitian tentang masalah hal yang sepele”, mungkin bagi sebagian orang adalah sebuah pilihan, namun bagi yang lain, itu adalah sebuah pelarian dari kenyataan. Fokus pada penelitian yang sepele, yang gampang, dapat dianggap sebagai pelanggaran etika akademis karena dapat mengarah pada kurangnya kontribusi yang signifikan ke dalam bidang pengetahuan. Hanya ingin cepat publikasi. Bukankah seperti yang dikatakan Edward Shils, etika akademis menekankan pentingnya integritas, kejujuran, dan kontribusi yang bermakna ke dalam bidang pengetahuan.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia modern ini, universitas berdiri sebagai oasis pengetahuan. Bagaikan hutan dengan berbagai jenis pohon, ada universitas yang menjulang tinggi, ada yang merunduk rendah; ada yang gemerlap sorot lampu kamera, ada yang tenang dalam pencarian kebenaran. Meski berbeda, ada benang merah yang mengikat: kegigihan dalam menjaga integritas dan kejujuran.
Etika akademis bukan sekadar serangkaian aturan yang tertulis. Lebih dari itu, ia adalah nafas dan denyut hati. Ia mencerminkan cara kita memandang semesta, cara kita berdialog dengan sesama, dan cara kita merenung dalam kesendirian. Di era yang serba cepat dan kompleks ini, jangan sampai kita terlena dan melupakan esensi: bahwa dalam setiap jejak langkah, etika, kejujuran, dan integritas harus selalu menjadi kompas.