Pelajaran hidup dari binatang oportunistis

Di dunia yang luas ini, di mana kehidupan mengalir bak sungai yang tak pernah kering, terdapat kisah-kisah tanpa henti dari para penghuni bumi: binatang-binatang oportunistis. Mereka, beberapa spesies binatang adalah para filsuf kehidupan; bukan sebagai makhluk yang berpikir, tetapi sebagai entitas yang bertindak, yang mengajarkan kita tentang seni bertahan dan beradaptasi.

Ambillah serigala, misalnya. Di balik auman yang menggema di malam hari, terdapat strategi keberlangsungan hidup yang tak terkira. Mereka tidak memilih; rusa, kelinci, atau bahkan bangkai yang tergeletak lama, semua sama bagi mereka. Ini bukan tentang kelaparan, tetapi tentang kesempatan: sebuah pelajaran tentang merangkul apa yang datang, dan dengan itu, bertahan.

Atau renungkanlah tentang tikus, hewan kecil yang sering diabaikan, bahkan dijijikkan. Mereka berkeliaran di lorong-lorong gelap, di sudut-sudut kota yang paling kumuh, tetapi juga di gudang-gudang yang penuh dengan biji-bijian emas. Tikus, dengan segala kerendahan hati dan ketangkasannya, adalah penguasa dunia bawah tanah yang sebenarnya. Mereka tidak mengenal batasan, tidak mengenal rasa takut, hanya insting untuk terus maju, untuk terus hidup.

Dan siapa yang bisa mengabaikan kecoak, makhluk yang telah berbagi napas dengan dinosaurus, dan mungkin akan tetap ada, bahkan ketika manusia telah lama pergi? Kecoak, dengan cangkang keras dan sayapnya yang berderak, adalah simbol ketahanan. Mereka menari di antara bayang-bayang, memakan sisa-sisa yang telah lama dilupakan, dan dengan itu, mereka bertahan, mereka berlanjut.

Makhluk-makhluk ini menggumamkan kata-kata yang lebih dalam daripada sekadar nafas untuk bertahan; mereka menari dalam irama kerendahan hati, melangkah dengan keberanian di atas panggung ketidakpastian, dan, yang terpenting, mereka mengukir kekuatan dalam setiap gerak adaptasi. Di dunia ini, yang berputar begitu cepat sehingga menimbulkan angin kencang yang bisa menggoyahkan siapa saja, kita—manusia, dengan segala kecerdasan dan ciptaan teknologi kita—mungkin perlu menghentikan sejenak langkah kita, lalu belajar, meski hanya satu atau dua hal, dari makhluk-makhluk oportunistis ini. Di antara gemerlap kecerdasan buatan dan deru mesin, mungkin kita telah kehilangan sebuah seni yang hampir terlupakan: seni untuk melangkah maju, bukan karena kita selalu memiliki peta yang menunjukkan arah, tetapi karena dalam setiap langkah tersebut, kita menemukan makna keberadaan kita.

Bagaimana dengan kita sebagai manusia, mahluk yang kompleks dan selalu bertanya mengenai siapa dirinya. Apakah kita lebih oportunistis dibandingkan serigala, tikus, dan kecoak? Dimana letak adab, etika dan moral? Silahkan renungkan teman-teman.