Opini ini terinspirasi oleh tulisan Edward Shils berjudul “The Political University and Academic Freedom“, yang diterbitkan di Minerva, Vol. 8, No. 4 (October 1970), pp. 479-491. Meski ditulis beberapa dekade silam, pemikirannya masih relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks kebebasan akademik dan pengaruh politik di universitas.
Di dunia akademik, kebebasan merupakan napas kehidupan intelektual. Kebebasan ini, bagai angin yang tidak terlihat namun terasa, memberikan kekuatan bagi akademisi untuk mengejar pengetahuan tanpa terbelenggu. Namun, ketika politik mulai merasuki koridor-koridor universitas, kebebasan ini terancam. Pengangkatan berdasarkan kepentingan politik bukanlah sekadar masalah administratif; ia adalah ancaman terhadap esensi pendidikan dan penelitian itu sendiri.
Pertama, kualitas akademik yang menjadi tonggak universitas mulai tergerus. Universitas, yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya pemikiran dan pengetahuan, berisiko menjadi arena pertarungan kepentingan politik. Ketika keputusan pengangkatan didasarkan pada afiliasi politik atau kelompok, bukan keahlian atau prestasi akademik, maka yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap cita-cita ilmu pengetahuan.
Kedua, kebebasan akademik yang menjadi jantung pendidikan terancam. Kebebasan untuk mengeksplorasi, mengkritik, dan menyampaikan pemikiran tanpa takut akan represi adalah hak dasar setiap akademisi. Namun, dalam bayang-bayang politik, kebebasan ini bisa menjadi barang langka. Akademisi mungkin merasa perlu untuk menyensor diri mereka sendiri, membatasi penelitian atau pengajaran mereka agar sesuai dengan garis politik yang dominan.
Ketiga, polarisasi dan bias yang dihasilkan oleh pengaruh politik ini menciptakan lingkungan akademik yang tidak sehat. Universitas seharusnya menjadi tempat di mana berbagai pandangan dan ide dapat bertemu dan bersaing secara sehat. Namun, ketika politik menjadi penentu, yang tersisa hanyalah echo chamber di mana hanya suara-suara tertentu yang didengar.
Keempat, kepercayaan publik pada institusi pendidikan menjadi taruhan. Jika masyarakat melihat bahwa universitas lebih banyak dipengaruhi oleh politik daripada kebenaran ilmiah, maka kepercayaan pada hasil penelitian dan pendidikan yang dihasilkan pun akan menurun.
Kelima, konflik kepentingan yang dihasilkan oleh pengaruh politik ini merusak integritas akademik. Keputusan yang seharusnya dibuat berdasarkan kepentingan ilmiah dan pendidikan menjadi tunduk pada kepentingan politik.
Keenam, ketidakadilan dan diskriminasi yang muncul akibat pengangkatan berdasarkan politik menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan ilmiah. Individu yang berpotensi besar mungkin terabaikan hanya karena mereka tidak memiliki ‘warna’ politik yang diinginkan.
Dalam konteks ini, penting bagi universitas untuk mempertahankan otonominya dari pengaruh politik. Kebebasan akademik bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab: tanggung jawab untuk menjaga integritas ilmiah dan pendidikan. Ini adalah perjuangan yang tidak hanya penting bagi dunia akademik, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.