Di Indonesia, minat baca sangat rendah dengan UNESCO menempatkan negara ini hampir di dasar peringkat literasi dunia. Ironisnya, orang Indonesia dikenal sebagai pengguna gadget yang rajin, menghabiskan hingga 9 jam sehari menatap layar. Jakarta bahkan menjadi kota paling cerewet di Twitter. Situasi ini menyebabkan penyebaran informasi palsu menjadi lebih mudah, terutama karena masyarakat lebih sering mendapat informasi dari media sosial daripada sumber yang kredibel.
“Di Indonesia, buku sudah seperti benda langka di museum, digunakan lebih sering untuk menyokong meja yang tidak stabil daripada dibaca. Orang-orangnya champion dalam olahraga men-swipe di smartphone, sampai-sampai buku terasa seperti menu spesial yang hanya keluar saat hari raya. Media sosial jadi santapan utama, sedangkan buku? Ah, itu hanya hidangan penutup yang terlupakan. Kita begitu lincah ber-swipe dan menekan ‘like’ sampai-sampai jari-jari mungkin butuh spa khusus! Dan di negeri di mana hoax lebih cepat menyebar daripada kabar angin, ‘filter hoaks’ jadi lebih penting dari filter wajah di Instagram. Inilah Indonesiaku, di mana jari lebih cepat dari pada otak, dan Twitter lebih ramai dari pasar!”