Etnosentrisme orang Minang: Apakah bisa bertahan?

Biografi saya dan ayah saya kebetulan dimasukkan dalam Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang yang baru saja diterbitkan.

Kita kadang-kadang dihantui oleh pertanyaan tentang apa yang sejati dari identitas kultural dan kebutuhan akan afiliasi. Bukan hanya saya sebagai orang Minang, tetapi sebagai manusia yang terjebak dalam semesta yang tak bertepi ini. Sungguh, pemberian label hanyalah semacam narasi yang kita bangun untuk memberi makna pada eksistensi kita, sebuah usaha manusiawi untuk merangkai benang-benang sejarah yang menjadi sulur dalam memahami akar diri.

Biografi saya dan ayah saya kebetulan dimasukkan dalam Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang yang baru saja diterbitkan. Mungkin bisa menjadi sebuah penghargaan, namun juga bisa menjadi cerminan akan sebuah eksklusivitas yang tak terelakkan. Ada benang merah yang mengikat generasi dalam sebuah keterikatan budaya dan genetika, namun demikian, pada saat yang bersamaan, benang tersebut juga berpeluang menjadi simpul yang merajut eksklusivitas.

Begitulah orang Minang, dengan rantai silsilah yang kuat dan gagah, mencoba untuk mengeja namanya dalam setiap inci sejarah dan generasi. Etnosentrisme, bisa jadi, bukanlah sekadar menganggap diri sebagai pusat, tetapi juga mencari makna pada sejarah dan keturunan yang terus berlari mengelilingi roda zaman. Mereka, dalam banyak cara, mencoba menjaga agar apinya tidak padam oleh hembusan angin perubahan.

Namun, perubahan itu sendiri, dengan kawin campur dan percampuran budaya yang semakin menjamur, bukankah itu juga sebuah bentuk dari keindahan? Dari perpaduan dua insan yang membawa benang-benang cerita mereka masing-masing, mencipta sulaman baru dalam tapestri kehidupan. Identitas, dalam hal ini, bukanlah sebuah kotak yang statis, melainkan lautan yang dinamis, dimana ombak memeluk ombak, mengalir tanpa henti dan membentuk kenampakan baru.

Begitupun dengan kebinekaan dan globalisasi, yang membawa kita pada pemahaman bahwa dunia ini terlalu indah untuk hanya ditempati oleh satu narasi. Indonesia dengan “Bhineka Tunggal Ika”-nya dan dunia yang semakin global, membentuk suatu medan dimana kita bisa bermain dan bertukar peran, memahami bahwa kita, pada hakikatnya, adalah satu. Identitas tak lagi menjadi sebuah tembok yang membatasi, melainkan jembatan yang menghubungkan.

Maka, calon cucu saya, dengan darah Minang, Sunda, dan Ipoh, Malaysia yang mengalir dalam nadinya, apa bukan mereka simbol dari persatuan? Bukankah mereka akan membawa cerita yang lebih kompleks dan kaya akan corak? Dari mereka, kita belajar bahwa identitas bukanlah sebuah benteng yang harus dijaga ketat, tetapi sebuah rumah yang pintunya selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin memahami cerita di balik setiap sudutnya.

Identitas Minang, seperti identitas manapun, adalah sebuah kisah; dan kisah, selalu punya ruang untuk lembaran baru. Meski relatifitas identitas semakin lama akan tergerus oleh waktu dan interaksi, esensi dari pengertian manusia tentang dirinya dan alam semesta akan tetap bertahan, dan mungkin, di situlah kita akan menemukan jawaban dari segala kebingungan kita tentang siapa kita sejatinya.