Ketika kita memandang krisis sebagai peluang, kita sering kali terfokus pada hasil jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Ambil contoh dari kasus pendidikan tinggi di Indonesia, yang kini berada di persimpangan jalan antara kemandirian finansial dan penjaminan kualitas pendidikan. Universitas-universitas dihadapkan pada dilema: meningkatkan jumlah mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan finansial yang berasal dari uang kuliah atau mempertahankan standar kualitas yang akan menjamin masa depan yang lebih cerah bagi lulusannya.
Mirip dengan pengalaman Korea Selatan dalam menghadapi boikot produk asing pada tahun 1960-an, yang pada akhirnya mendorong negara tersebut untuk berinvestasi dalam pengembangan industri domestiknya yang menguntungkan dari perspektif jangka panjang, universitas di Indonesia juga harus melihat lebih jauh dari sekadar solusi jangka pendek. Menaikkan jumlah mahasiswa mungkin terlihat sebagai solusi finansial yang cepat, namun tanpa investasi yang proporsional pada fasilitas dan tenaga pengajar, langkah ini hanya akan menurunkan kualitas pendidikan dan merugikan reputasi institusi dalam jangka panjang.
Kita harus mempertimbangkan bahwa investasi dalam pendidikan bukan hanya tentang infrastruktur fisik dan jumlah mahasiswa, tetapi lebih penting lagi adalah investasi dalam sumber daya manusia dan inovasi. Pendidikan tinggi harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang akan menghasilkan inovasi, penelitian, dan tenaga kerja berkualitas yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing nasional.
Dalam konteks ini, pemerintah, universitas, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencari solusi yang tidak hanya mengatasi masalah finansial jangka pendek tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan berkualitas tinggi. Ini adalah saatnya untuk berpikir kritis dan bertindak strategis, memastikan bahwa krisis hari ini menjadi peluang untuk inovasi dan pertumbuhan di masa depan.