Dalam dunia akademis yang penuh dengan tantangan dan paradoks, terdapat cerita-cerita yang sering terlupakan namun penting untuk diceritakan. Dialog berikut ini mengungkapkan realitas yang dihadapi oleh banyak peneliti di universitas-universitas di Indonesia, sebuah narasi tentang harapan tinggi yang terbelenggu oleh peraturan yang mengikat dan sering kali menghambat. Melalui percakapan antara dua peneliti, kita diajak untuk memahami dinamika dan ironi yang terjadi dalam tata kelola riset, di mana inovasi dan integritas akademis berusaha untuk bertahan hidup dalam sistem yang penuh dengan absurditas. Ini adalah cerminan dari perjuangan, kreativitas, dan terkadang, akal-akalan yang menjadi bagian dari perjalanan ilmiah.
Peneliti A: “Hai, kamu sudah dengar tentang teori absurb dalam tata kelola riset di universitas kita?”
Peneliti B: “Oh, maksudmu tentang harapan tinggi dengan peraturan yang mengikat tapi malah menghambat itu? Ya, itu seperti meminta kita untuk lari cepat sambil kaki kita diikat rantai!”
Peneliti A: “Benar sekali! Dan yang paling menggelikan adalah praktik ilmiah yang salah kaprah itu. Mereka ingin kita melakukan riset yang berkualitas dalam waktu singkat. Bayangkan, dana cair bulan Juli dan mereka mengharapkan kita sudah punya publikasi yang accepted di bulan Desember!”
Peneliti B: “Itu seperti meminta kita untuk membangun rumah dalam semalam. Dan jangan lupakan, rumah itu harus layak huni dan indah!”
Peneliti A: “Tepat! Dan jangan lupa, rumah itu harus dibangun dengan menggunakan teknik dan material yang belum tentu kita kuasai atau tersedia di pasar lokal. Kita diharapkan melakukan inovasi sambil tetap mematuhi semua peraturan yang ada.”
Peneliti B: “Ini benar-benar paradoks! Di satu sisi, mereka menginginkan kemajuan ilmiah yang cepat dan berkualitas. Di sisi lain, mereka memberikan kita waktu dan sumber daya yang tidak realistis. Ini seperti meminta kita untuk terbang tanpa sayap!”
Peneliti A: “Ya, dan yang paling ironis adalah ketika kita berhasil melakukan sesuatu yang luar biasa dengan segala keterbatasan itu, mereka menganggapnya sebagai ‘standar’ dan mengharapkan lebih di masa depan.”
Peneliti B: “Betul! Ini bukan lagi tentang kemajuan ilmiah, tapi lebih kepada bagaimana kita bertahan hidup dalam sistem yang absurb ini. Mungkin kita harus mulai menulis paper tentang ‘Survival of the Fittest: Kisah Para Peneliti di Universitas Absurd’.”
Peneliti A: “Haha, itu akan menjadi best seller di kalangan akademisi! Atau mungkin kita bisa mulai riset tentang ‘Teori Absurd dalam Tata Kelola Riset: Studi Kasus Universitas di Indonesia’.”
Peneliti B: “Ide yang brilian! Tapi jangan lupa tentang akal-akalan yang terjadi di balik layar. Kita tahu banyak yang menggunakan data riset tahun lalu untuk membuat proposal baru.”
Peneliti A: “Ah, ya! Itu seperti memasak makanan kemarin untuk hidangan hari ini. Hanya dihangatkan, diberi bumbu baru, dan voila! Sebuah ‘proposal inovatif’ siap disajikan.”
Peneliti B: “Benar! Ini adalah tarian absurd di mana semua penari tahu langkahnya tapi tetap berpura-pura terkejut setiap kali musiknya berubah.”
Peneliti A: “Dan di tengah semua ini, kita diharapkan untuk tetap menjaga integritas akademis. Ironis, bukan? Kita diharapkan untuk menjadi inovatif sambil berjalan di atas tali yang sudah usang.”
Peneliti B: “Sungguh ironis! Tapi, hei, mungkin itu juga bagian dari ‘keterampilan’ yang harus kita kuasai, bukan? Bagaimana menjadi kreatif dalam keterbatasan, termasuk bagaimana mengolah data lama menjadi sesuatu yang tampak baru dan segar.”
Peneliti A: “Ya, ‘seni’ akademis dalam tata kelola riset yang absurb. Mungkin kita harus mulai mengadakan workshop tentang ini, ‘Seni Mengolah Data Lama: Bagaimana Membuat Proposal Riset Anda Terlihat Baru’.”
Peneliti B: “Haha, itu akan sangat populer! Tapi, tentu saja, kita akan melakukannya dengan menjaga etika dan standar ilmiah. Kita tidak ingin menjadi contoh buruk dalam buku teks sejarah ilmu pengetahuan.”
Peneliti A: “Tentu saja, integritas dan inovasi harus berjalan seiring. Mari kita tunjukkan bahwa meskipun sistemnya penuh dengan absurditas, kita masih bisa menghasilkan riset yang berkualitas dan bermakna.”
Peneliti B: “Setuju! Mari kita lanjutkan perjuangan kita di dunia akademis yang penuh dengan tantangan ini. Ke laboratorium, demi sains dan sedikit keajaiban!”
Peneliti A: “Untuk sains, integritas, dan sedikit keajaiban! Ayo kita buktikan bahwa di tengah absurditas, kita masih bisa berinovasi dan berkontribusi pada kemajuan ilmiah!”