Memaknai pendidikan tinggi melalui surah Al-Hadid ayat 20

Dalam dialog di bawah ini, saya ingin merenungkan pentingnya pendidikan tinggi melalui dialog imajinatif antara bapak dan anak yang diilhami oleh Surah Al-Hadid ayat 20 sebagai medium pencerdasan diri, bukan hanya sebagai simbol status sosial dan hanya menjadi ilusi. Dialog ini menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus dimanfaatkan untuk memperdalam ilmu, mengasah keterampilan, membentuk karakter, dan memberi manfaat bagi umat manusia, seraya mengingatkan kita agar tidak tenggelam dalam ilusi. Saya berharap tulisan kecil ini mampu memberikan perspektif dan memotivasi generasi muda untuk melakukan riset dengan benar, mengejar ilmu yang benar dan bermanfaat.

Bapak: Assalamu’alaikum, Nak. Saya ingin kita berbicara tentang sesuatu yang sangat penting dan berkaitan dengan masa depanmu, yaitu tentang pendidikan tinggi.

Anak: Waalaikumsalam, Pak. Tentu, saya juga ingin mendengar dan belajar lebih banyak.

Bapak: Baiklah, Nak. Seperti yang kita ketahui dari Surah Al-Hadid ayat 20, kehidupan di dunia ini digambarkan sebagai permainan, hiburan, dan ilusi. Ini juga bisa kita kaitkan dengan bagaimana kita memandang pendidikan tinggi. Banyak orang melihat pendidikan tinggi sebagai status atau pencapaian semata, mirip dengan “permainan” dalam ayat tersebut. Namun, kita harus ingat tujuan sebenarnya dari pendidikan tinggi.

Anak: Saya mengerti, Pak. Jadi, pendidikan tinggi seharusnya bukan hanya tentang mendapatkan gelar atau pengakuan sosial, tapi lebih kepada mencerdaskan dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik.

Bapak: Tepat sekali. Seperti “Laibun” atau permainan dalam ayat tersebut, kita tidak boleh terjebak dalam persaingan yang tidak berujung atau kebanggaan semu. Pendidikan tinggi harus menjadi sarana untuk kita mendalami ilmu, mengembangkan keterampilan, dan membangun karakter yang kuat, bukan hanya sebagai ajang pamer atau kompetisi.

Anak: Memang, Pak. Saya sering melihat bagaimana di media sosial, banyak yang membanggakan pencapaian akademis mereka, tapi kadang lupa bahwa ilmu yang sebenarnya adalah yang bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Bapak: Benar, Nak. Seperti “Zinatun” atau perhiasan, dan “Tafakhurun” atau kebanggaan dalam ayat tersebut, kita harus waspada agar tidak terjebak dalam kebanggaan atas pencapaian duniawi yang sifatnya sementara. Pendidikan tinggi harus kita pandang sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebermanfaatan bagi umat manusia dan kehidupan akhirat.

Anak: Saya setuju, Pak. Saya ingin menggunakan kesempatan di pendidikan tinggi untuk benar-benar belajar dan mengembangkan diri, bukan hanya mengejar prestasi akademik.

Bapak: Itulah sikap yang harus kita miliki. Seperti “Ghururun” atau ilusi dalam ayat, kita harus sadar bahwa kehidupan ini penuh dengan tipuan dan kita tidak boleh terlena. Pendidikan tinggi adalah salah satu cara untuk kita mempersiapkan diri menghadapi tantangan kehidupan dan akhirat dengan lebih baik.

Anak: Terima kasih atas nasihatnya, Pak. Saya akan berusaha untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai sarana untuk mencerdaskan diri dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

Bapak: Saya bangga mendengarnya, Nak. Semoga Allah memudahkan jalanmu dan menjadikanmu sumber kebaikan. Assalamu’alaikum.

Anak: Waalaikumsalam, Pak. Terima kasih atas dukungan dan doanya.