Di balik angka: Refleksi pendidikan tinggi Indonesia

Ini masih refleksi di awal tahun mengenai pendidikan tinggi di negara kita yang tercinta. Saya termasuk agak nyiyir menyoroti pendidikan tinggi kita yang ada kecenderungan kehilangan makna pendidikannya. Angka dan statistik menguasai narasi pendidikan tinggi di Indonesia. Kita sering lupa bahwa di balik deretan angka tersebut, tersembunyi esensi yang lebih dalam dan sarat makna. Pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi lautan pengetahuan, tempat berlabuhnya rasa ingin tahu, dan pelabuhan bagi pemikiran kritis, kini terjebak dalam jerat key performance indicators (KPI). Ironisnya, dalam upaya mengejar angka-angka prestasi, kita mungkin kehilangan inti dari pendidikan itu sendiri: pencerahan dan pembebasan pikiran.

Kita hidup di era di mana nilai sebuah institusi pendidikan sering kali diukur dari jumlah publikasi, peringkat universitas, dan indikator kinerja lain yang terasa lebih mirip dengan laporan tahunan sebuah perusahaan. Namun, bukankah pendidikan lebih dari sekadar angka dan statistik? Pendidikan tinggi seharusnya menjadi sebuah perjalanan intelektual yang membebaskan, bukan sekadar perjalanan menuju pencapaian angka-angka yang tak bernyawa.

Di Indonesia, tantangan ini menjadi semakin nyata. Sebagai bangsa yang sedang berupaya menapak ke depan, kita membutuhkan generasi pemikir, bukan sekadar pengulang pengetahuan. Kita membutuhkan inovator, bukan sekadar imitator. Pendidikan tinggi harus menjadi tempat di mana mahasiswa diajak untuk berpikir, bukan hanya untuk mengingat; untuk mempertanyakan, bukan hanya menerima; untuk mencipta, bukan hanya meniru.

Kita harus kembali ke akar filosofis pendidikan: sebagai proses humanisasi, di mana setiap individu diajak untuk menggali potensi terdalamnya, bukan hanya sebagai proses mekanisasi yang menghasilkan lulusan-lulusan yang siap pakai. Pendidikan tinggi harus menjadi ruang di mana jiwa-jiwa muda diberi kebebasan untuk bertanya, berdebat, dan berkreasi.

Dalam konteks ini, institusi pendidikan tinggi di Indonesia dituntut untuk melakukan introspeksi. Mereka harus menimbang kembali, apakah mereka telah menjadi garda terdepan dalam membangun fondasi pemikiran kritis dan kreatif, atau hanya menjadi mesin penghasil angka-angka yang mengesankan namun hampa makna.

Mari kita ingat kembali bahwa pendidikan bukanlah tentang menciptakan generasi yang hanya pandai menghitung, tetapi tentang membangun generasi yang mampu berpikir. Di sinilah letak harapan kita: dalam pendidikan yang membebaskan, yang mengajak kita semua untuk tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi menjadi pemain aktif dalam panggung besar kehidupan.