All the light we cannot see

Saya baru saja selesai menonton film menarik di NetFlix yang berjudul “All the Light We Cannot See.” Film ini didasarkan kepada sebuah novel dengan judul yang sama karya Anthony Doerr yang diterbitkan pada tahun 2014. Novel ini meraih Penghargaan Pulitzer untuk Fiksi pada tahun 2015. Berlatar belakang Perang Dunia II, novel ini mengisahkan dua tokoh utama: seorang gadis buta asal Prancis bernama Marie-Laure LeBlanc dan seorang anak laki-laki Jerman bernama Werner Pfennig.

Marie-Laure tinggal bersama ayahnya di Paris, dekat dengan Museum Sejarah Alam, tempat ayahnya bekerja sebagai tukang kunci. Ketika berusia enam tahun, Marie-Laure menjadi buta. Ayahnya membuat miniatur lingkungan mereka agar Marie-Laure bisa menghafalnya dengan sentuhan dan belajar navigasi jalan pulang. Ketika Jerman menduduki Paris, mereka melarikan diri ke Saint-Malo di pantai Brittany, tempat tinggal paman Marie-Laure yang menyendiri di sebuah rumah tinggi dekat tembok laut.

Werner, yang tumbuh bersama adik perempuannya di sebuah kota tambang kecil di Jerman, adalah yatim piatu. Dia memiliki keahlian memperbaiki radio, yang membawanya mendapatkan tempat di akademi Hitler Youth yang brutal dan kemudian tugas khusus untuk melacak perlawanan. Semakin sadar akan bencana kemanusiaan yang disebabkan dari kecerdasannya, Werner berkelana melalui tugas perangnya dan akhirnya sampai di Saint-Malo, tempat ceritanya dan Marie-Laure bertemu.

Novel karya Doerr ini dipuji karena prosa indahnya, alur yang rumit, dan cara ia menggambarkan bagaimana, melawan segala rintangan, orang-orang mencoba untuk berbuat kebaikan satu sama lain. Judulnya mencerminkan tema tentang hal-hal yang tidak terlihat, seperti gelombang radio dan kehidupan batin para tokoh, serta cahaya kebaikan dan ketahanan manusia di masa yang gelap. 

“All the Light We Cannot See” dalam dunia akademis

Jika direnungkan, cerita “All the Light We Cannot See” juga dapat dilihat dalam dinamika dunia akademis di universitas. Ini bisa dianalogikan ke dalam kisah seorang saintis yang terjebak dalam dunia akademis penuh kepalsuan dan penelitian yang dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi kaidah ilmiah. 

Kita dapat membayangkan seorang saintis muda dan berbakat, kita sebut dia Aurum, yang memasuki dunia akademis dengan penuh harapan dan keinginan untuk membuat perubahan nyata melalui riset. Aurum memiliki idealisme tinggi dan dedikasi kuat terhadap integritas ilmiah. Namun, dia segera menemukan bahwa dunia akademis yang dia masuki tidak seperti yang dia bayangkan. Dia mendapati bahwa banyak penelitian di sekitarnya didorong oleh kepentingan pribadi, manipulasi data, dan tekanan untuk menghasilkan hasil yang ‘menarik’ daripada mencari kebenaran.

Dalam analogi ini, “dunia yang penuh dengan kepalsuan” mewakili lingkungan akademis yang korup, di mana kebenaran ilmiah sering dikorbankan demi kemajuan karir atau keuntungan finansial. Aurum merasa terjebak dan frustasi, mirip dengan Marie-Laure yang harus menghadapi kegelapan dunia akibat kebutaannya dan Werner yang terjebak dalam sistem Nazi yang brutal.

“All the Light We Cannot See” dalam konteks ini mewakili kebenaran ilmiah dan integritas yang masih ada, meskipun sering tidak terlihat atau diabaikan. Aurum, meskipun dihadapkan pada tantangan dan kekecewaan, terus mencari kebenaran dalam risetnya. Dia menemukan sekutu yang tidak terduga, mentor yang masih memegang teguh prinsip ilmiah, dan rekan-rekan yang juga berjuang untuk integritas.

Analogi ini menyoroti perjuangan Aurum yang mirip dengan perjuangan Marie-Laure dan Werner: mencari cahaya dalam kegelapan, kebenaran di tengah kepalsuan, dan integritas di tengah korupsi. Seperti dalam novel, ada momen-momen kecil namun berarti yang menunjukkan bahwa meskipun sering tersembunyi, kebaikan dan kebenaran masih ada dan layak untuk diperjuangkan.