Kalau kita membaca buku “Weapons of Math Destruction” karya Cathy O’Neil (buku ini dapat dicari dan diunggah secara gratis melalui internet), terdapat terdapat sebuah paradoks yang serupa dalam dunia riset dan publikasi ilmiah.
"Weapons of Math Destruction" oleh Cathy O’Neil menyoroti bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan model matematika dan algoritma big data dalam masyarakat. O'Neil berargumen bahwa model-model ini sering kali memperkuat ketidaksetaraan dan ketidakadilan, dibangun berdasarkan asumsi yang salah atau data yang bias. Buku ini menyerukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengembangan dan penggunaan model ini, serta perlunya regulasi dan pengawasan yang lebih ketat. O'Neil juga menekankan pentingnya pendidikan dan kesadaran publik tentang dampak model-model ini, mendorong pendekatan yang lebih bertanggung jawab dan etis dalam sains data.
Di sini, dalam dunia publikasi ilmiah, kita melihat bagaimana metrik, khususnya faktor dampak (impact factor), telah menjadi hal yang menjadi penentu kebijakan dalam dunia publikasi ilmiah, serupa dengan bagaimana algoritma big data mengukuhkan ketidaksetaraan dalam masyarakat, seperti yang diungkapkan dalam buku “Weapons of Math Destruction”.
Faktor dampak, sebuah metrik yang awalnya dirancang untuk mengukur pengaruh sebuah jurnal ilmiah, telah berubah menjadi alat penilaian bagi karya individu dan institusi. Ironisnya, seperti yang diungkapkan Eugene Garfield, pencipta Journal Impact Factor (JIF), penggunaan metrik ini untuk menilai individu adalah penyalahgunaan, karena variasi sitasi antarartikel dalam satu jurnal bisa sangat lebar.
Namun, dalam praktiknya, faktor dampak telah menjadi patokan utama dalam menentukan di mana para ilmuwan mempublikasikan karya mereka, siapa yang dipromosikan atau dipekerjakan, kesuksesan aplikasi hibah, bahkan hingga bonus gaji. Sebuah studi pada tahun 2019 menemukan bahwa 40% universitas di AS dan Kanada yang berfokus pada penelitian secara spesifik menyebutkan JIF dalam proses review, promosi, dan tenure.
Kritik terhadap faktor dampak mencakup keabsahan statistiknya dan dampaknya terhadap cara ilmu pengetahuan dilakukan dan dinilai. Salah satu kelemahan mendasar adalah faktor dampak menyajikan rata-rata dari data yang tidak terdistribusi normal. Selain itu, ada perdebatan lebih luas mengenai validitas faktor dampak sebagai ukuran pentingnya jurnal dan efek dari kebijakan yang mungkin diadopsi editor untuk meningkatkan faktor dampak mereka, mungkin dengan mengorbankan pembaca dan penulis.
Lebih jauh, faktor dampak telah dikritik karena mendorong perilaku negatif di kalangan para ilmuwan, editor, dan pemangku kepentingan lainnya. Beberapa kritik menunjukkan bahwa penekanan pada faktor dampak berasal dari pengaruh negatif politik neoliberal terhadap akademia. Tuntutan ini tidak hanya menuntut penggantian faktor dampak dengan metrik yang lebih canggih, tetapi juga diskusi tentang nilai sosial dari penilaian penelitian dan meningkatnya ketidakpastian karier ilmiah dalam pendidikan tinggi.
Kasus King Abdulaziz University
Sebuah narasi menarik terungkap dalam bab “ARMS RACE: Going to College” dari buku “Weapons of Math Destruction”. Di sini, kita diajak merenungkan bagaimana angka dan peringkat, seperti yang dikemas oleh U.S. News, seringkali lebih merupakan cerminan ilusi daripada realitas pendidikan yang autentik. Sebagai ilustrasi, O’Neil mengambil contoh Departemen Matematika di King Abdulaziz University, Arab Saudi. Dengan kejutan, departemen yang baru berusia dua tahun ini meloncat ke peringkat ketujuh pada tahun 2014, menyamai institusi-institusi agung seperti Cambridge dan MIT.
Kejadian ini bukan sekadar fenomena, melainkan sebuah pertanyaan mendalam tentang esensi dan integritas sistem peringkat itu sendiri. O’Neil menggali lebih dalam, menunjukkan bagaimana sistem peringkat, yang seharusnya menjadi tolok ukur, sering kali tergelincir menjadi alat manipulasi. Di King Abdulaziz University, lonjakan dramatis dalam peringkat menyingkap tabir bagaimana universitas mungkin lebih memilih strategi investasi finansial untuk mendongkrak posisi mereka, ketimbang berinvestasi dalam substansi pendidikan yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kita melihat bagaimana sebuah metrik yang dirancang untuk membantu, sekarang telah menjadi senjata yang menghambat kemajuan ilmu pengetahuan yang sejati. Di sini, faktor dampak, yang seharusnya menjadi alat, telah menjadi tuan yang menentukan nasib ilmu pengetahuan dan para ilmuwannya.
Akhir kata: “Kita harus berhati-hati dengan apa yang kita ukur, karena pada akhirnya, itu yang akan mengukur kita.“