Bayangkan saja, di sebuah hutan yang tidak terlalu jauh dari kafe langganan kita, ada sebuah pemilu yang bisa bikin acara TV paling populer sekalipun terlihat membosankan. Kita punya tiga kandidat dengan karakter yang lebih berwarna dari pelangi setelah hujan. Ada Pak Gajah, yang ingatannya kuat sampai bisa ingat siapa yang belum bayar utang di warung kopi, Pak Kucing, yang liciknya bisa bikin sales asuransi terkesima, dan Pak Kura-Kura, yang bijaksananya membuat kita merasa seperti masih anak-anak belajar hidup.
Pak Gajah, dengan semangat ‘Make the Forest Great Again’, ingin semua hewan bisa menikmati spa lumpur tanpa harus antre. Ide yang cemerlang, tapi kita bertanya-tanya, apakah kolam lumpur itu lebih penting daripada langganan Netflix kita? Sementara itu, Pak Kucing, dengan moto ‘Safety First’, ingin mengajarkan semua hewan cara menghilang. Itu keren, tapi kalau semua bisa menghilang, siapa dong yang bakal like postingan kita di Instagram?
Dan Pak Kura-Kura, dengan kampanye ‘Slow and Steady Wins the Race’, ingin mengadakan rapat bulanan. Rapat bulanan, di era serba cepat ini? Kita butuh solusi yang instan, Pak Kura-Kura, bukan menunggu keputusan yang lebih lama dari waktu yang dibutuhkan untuk update software iPhone.
Ketika debat dimulai, Pak Gajah mengguncang panggung dengan ide-ide besarnya, tapi sayang, getarannya sampai bikin semua peserta debat lain terbangun dari tidur siang mereka. Pak Kucing, dengan kecerdikannya, berhasil mengelak dari semua pertanyaan dengan jawaban yang bikin kita bertanya-tanya, “Ini debat politik atau sesi stand-up comedy?” Dan Pak Kura-Kura, yah, dia masih dalam perjalanan menuju panggung debat.
Jajak pendapat menunjukkan Pak Gajah unggul, tapi itu mungkin karena dia mengingat semua yang belum bayar utang dan mengancam tidak akan menghapus mereka dari daftar hitam kalau tidak memilih dia. Pak Kucing, dengan pengikut setianya di media sosial, mungkin menang dalam jumlah like, tapi apakah itu cukup untuk memenangkan pemilu? Dan Pak Kura-Kura, well, kita masih menunggu dia sampai di garis finish.
Nah, jadi ceritanya, pemilu di hutan ini tidak cuma sekedar siapa yang jadi juara, tapi lebih ke bagaimana mereka bisa membuat kita ketawa lepas, memikir keras, dan siapa tahu, kita bisa menyerap satu dua hal tentang diri kita sendiri. Sepertinya, di hutan yang letaknya tidak jauh dari kafe favorit kita ini, hidup itu ibarat roller coaster, dan tiap pemilu itu seperti season baru dari serial TV kehidupan yang tidak ada habisnya.
Di tengah-tengah semua hebohnya drama pemilu ini, kita malah nemu sesuatu yang dalam sekali, namanya pluralisme. Pluralisme itu kayak pelangi setelah hujan, yang membuat hutan kita ini jadi warna-warni. Dia mengajarkan kita menghargai perbedaan, dan mengingatkan kita kalau di dalam perbedaan itu, ada kekuatan tersembunyi dan kesempatan buat kita tumbuh dan mengerti lebih banyak. Ini semacam pelajaran hidup dari hutan, yang menunjukkan kalau di antara Pak Gajah, Pak Kucing, dan Pak Kura-Kura, ada harta karun yang namanya kebersamaan.
Jadi, intinya, tidak peduli siapa yang menang atau kalah, yang penting kita bisa ambil pelajaran dari semua kejadian. Kita diajak buat melihat lebih dalam lagi, bahwa kehidupan ini kaya akan warna dan cerita. Dan mungkin, cuma mungkin, kita bisa jadi lebih bijak dan asyik dalam menjalani hari-hari kita. Karena, toh, di hutan yang asyik ini, setiap hari adalah kesempatan baru buat belajar, tertawa, dan terus berpetualang.