Menelusuri esensi sejati keahlian dan intelektualisme

“Ini adalah zaman yang berbahaya. Tidak pernah sebelumnya begitu banyak orang memiliki akses ke begitu banyak pengetahuan, dan namun begitu resisten untuk belajar apa pun.”

— Tom Nichols, The Death of Expertise

Ada bisikan halus yang sering terabaikan: tidak semua yang berjalan di koridor ilmu dengan jubah kehormatan memegang obor pengetahuan sejati. Gelar profesor, mahkota akademis yang diidamkan, tidak selalu menjamin pemiliknya adalah pelayar yang mahir di lautan intelektual. Di balik tirai angka dan kredit unit kinerja, ada cerita lain yang tersembunyi, cerita tentang perjalanan yang kadang lebih mirip jalan setapak di hutan daripada jalan lurus menuju puncak kebijaksanaan.

Dalam dunia akademis, di mana kenaikan pangkat sering kali diukur dengan metrik yang kaku dan kuantitatif, kita diajak bertanya: Apakah esensi keahlian dan intelektualisme hanya terukur dengan jumlah publikasi? Apakah kebenaran ilmiah dapat diwakili sepenuhnya dalam indeks sitasi? Ada ironi yang menyertai sistem yang memungkinkan seseorang untuk “mengakali” jalannya menuju puncak, dimana kualitas penelitian dan kedalaman pemikiran seringkali dikorbankan demi angka-angka yang memuaskan syarat administratif.

Namun, intelektualisme yang sejati bukanlah permainan angka. Ia adalah tarian pikiran yang berani menari di tepian pengetahuan, merenungkan masalah sosial, dan berkontribusi pada diskusi publik dengan wawasan yang mendalam. Seorang intelektual atau ahli sejati didefinisikan tidak hanya oleh jumlah publikasinya, tetapi oleh kualitas pemikirannya, kemampuannya untuk mempertanyakan dan mengkritik, serta dedikasinya terhadap pencarian kebenaran dan pengetahuan.

Dalam konteks yang lebih luas, seperti yang digambarkan oleh “The Death of Expertise“, kita menyaksikan bagaimana masyarakat global telah bergerak menuju penolakan terhadap keahlian dan pengetahuan yang didirikan. Ini adalah era di mana akses luas terhadap informasi sering kali tidak disaring atau diverifikasi, memperkuat narasi bahwa pengetahuan yang didirikan tidak lagi relevan atau dapat dipercaya. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan krisis dalam dunia akademis tetapi juga menandakan pergeseran dalam cara kita sebagai masyarakat memandang keahlian dan pengetahuan. Dalam bukunya diungkapkan bahwa para ahli terkadang gagal. Ia mengatakan bahwa jawaban terbaik untuk ini adalah kehadiran korektif dari ahli lain untuk mengenali dan memperbaiki kegagalan sistemik. Ini juga maksud dari tulisan ini.

Kita berada di persimpangan jalan, di mana dialog antara ahli dan masyarakat umum menjadi semakin penting. Untuk menjembatani jurang yang memisahkan keahlian dari masyarakat luas, kita harus merenungkan kembali nilai-nilai dan kriteria yang kita gunakan dalam menilai keberhasilan akademis. Mungkin, saatnya kita mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan kualitatif, yang tidak hanya mempertimbangkan dampak intelektual dan kontribusi terhadap masyarakat, tetapi juga menghargai kemampuan mengajar dan pembelajaran seumur hidup.

Di akhir cerita, gelar dan posisi akademik mungkin merupakan indikator pencapaian dalam bidang tertentu, namun esensi sejati dari menjadi seorang ahli atau intelektual terletak pada kemampuan untuk terus bertanya, belajar, dan berbagi. Dalam perjalanan menuju kebijaksanaan, mungkin yang terpenting bukanlah seberapa cepat kita berjalan, tetapi seberapa dalam jejak yang kita tinggalkan.