Berdasarkan artikel dari Ben Bland di Foreign Affairs, “Indonesia’s Democracy Is Stronger Than a Strongman: Why Prabowo Would Find It Hard to Rule as an Authoritarian,” yang dipublikasikan kemaren, mari kita memahami bagaimana demokrasi di Indonesia sebenarnya kuat, dan ada tokoh kuat seperti Prabowo Subianto yang sedang naik daun, dan baru saja menang menjadi presiden versi quick count. Ben Bland mengatakan demokrasi lebih kuat dari Prabowo. Tulisan ini adalah ringkasan dalam versi bahasa Indonesia dan lebih santai. Saya hanya membuat tulisan tersebut lebih ringkas dan mudah dipahami intisarinya. Walaupun ada setuju dan tidak setuju dengan pandangan Ben Bland ini, tema ini perlu terus didiskusikan dan diperdebatkan. Saya mendengar ada yang berpendapat demokrasi Indonesia sudah salah kaprah karena sudah dikontrol oleh partai, bukan lagi oleh rakyat.
Pertama, cerita tentang Prabowo ini membuktikan bahwa politik di Indonesia penuh warna dan tidak kaku. Meskipun ia memiliki latar belakang militer dan kisah masa lalu yang menarik perhatian, Prabowo bisa menjadi bagian dari pemilu yang demokratis dan bahkan bergabung dengan presiden saat ini, Jokowi. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah cukup matang, dimana pertarungan strategi politik bisa terjadi dalam bingkai yang lebih besar dari sekedar perebutan kursi.
Kedua, generasi muda Indonesia yang aktif dalam pemilu ibarat angin segar bagi demokrasi. Mereka terhubung, terdidik, dan mempunyai peluang emas untuk membentuk masa depan politik negara ini. Partisipasi mereka dalam demokrasi dapat menjadi kunci untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi dan mengatasi tantangan yang ada.
Ketiga, meskipun terdapat kekhawatiran akan terkikisnya beberapa prinsip demokrasi, keberadaan masyarakat sipil yang aktif, media yang tidak dapat ditindas, dan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi merupakan jaminan bahwa terdapat mekanisme check and balances kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan, sistem di Indonesia mempunyai kemampuan beradaptasi dan mengoreksi diri.
Keempat, kolaborasi antara Jokowi dan Prabowo yang sebelumnya memiliki persaingan ketat menunjukkan politik pragmatis di mana kepentingan nasional dan strategi jangka panjang bisa lebih penting dibandingkan perbedaan ideologi. Hal ini dapat dilihat sebagai tanda kedewasaan politik Indonesia atau strategi untuk bertahan di dunia politik yang berubah dengan cepat.
Yang terakhir, perhatian internasional dan regional terhadap pemilu Indonesia menegaskan posisi strategis negara ini di kancah global. Cara Indonesia mengelola hubungan dengan Tiongkok dan AS, serta menjaga keseimbangan antara nasionalisme dan keterbukaan internasional, akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang memenangkan pemilu kali ini.
Jadi, pemilu 2024 tidak hanya penting bagi Indonesia, tapi juga menjadi contoh bagi dunia bagaimana demokrasi di negara berkembang bisa menghadapi tantangan dari dalam dan luar. Ketahanan dan kemampuan adaptasi demokrasi Indonesia akan menjadi topik menarik untuk direnungkan dalam konteks demokrasi global di abad ke-21. Jadi, bukankah politik Indonesia menarik?
Mudah-mudahan ringkasan dari artikel yang di tulis oleh Ben Bland di Foreign Affairs dapat dipahami dengan baik melalui blog ini. Merdeka!