Saya yang disebut “Prof”

Saya mengambil foto saat menghadiri upacara wisuda di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) pada tahun 2022, di mana saya pernah menjabat sebagai profesor penuh selama 12 tahun dan secara total telah menjadi dosen di sana selama 20 tahun.

Di tengah malam yang kelam, saat bintang-bintang enggan menampakkan diri, saya terjaga. Tidak oleh mimpi buruk atau suara bising, tetapi oleh sebuah renungan mendalam yang tiba-tiba menyergap saya. “Siapa saya ini, yang disebut profesor?” Sebuah pertanyaan yang menggali ke inti eksistensi kita sebagai makhluk berpikir. Di negeri ini, di mana gelar seringkali dianggap sebagai puncak pencapaian, pertanyaan ini menjadi sangat relevan.

Itulah, pengetahuan. Sebuah kata yang sering terdengar tapi jarang benar-benar dipahami. Pengetahuan adalah mata air, tetapi mata air itu sendiri tidak cukup untuk memberi kehidupan. Seorang profesor bisa berdiri di puncak gunung pengetahuan, tetapi apakah ia juga berdiri di puncak gunung kebijaksanaan? Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar mengetahui; ada sesuatu yang disebut memahami. Dan memahami ini adalah sebuah seni, seni yang tidak selalu diajarkan di bangku kuliah atau diukur dalam angka-angka.

Kemudian, ada keterampilan berpikir kritis, sebuah kemampuan untuk membaca dunia dalam semua kompleksitasnya. Tapi, ironisnya, dunia akademik, tempat di mana keterampilan ini seharusnya diasah, seringkali justru menjadi tempat di mana keterampilan ini dikubur. Di bawah tumpukan angka, statistik, dan publikasi, di mana letak ruang untuk berpikir kritis? Di mana letak ruang untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyaman?

Kreativitas, kata yang indah tetapi sering terpinggirkan. Di dunia yang serba terstruktur, di mana semuanya diukur dan dinilai, di mana letak ruang untuk imajinasi? Di mana letak ruang untuk keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan? Mungkin seorang profesor pandai dalam memecahkan masalah, namun pandaikah dia dalam menciptakan solusi-solusi baru?

Dan, tentu saja, ada integritas akademik. Sebuah pilar yang sering dianggap sepele tetapi sebenarnya adalah fondasi dari semua pilar lainnya. Tanpa integritas, semua pencapaian akademik hanyalah sebuah ilusi, sebuah mimpi yang indah tetapi kosong. Di zaman ini, di mana angka dan gelar seringkali menjadi ukuran keberhasilan, apakah kita masih mempertahankan integritas kita?

Saya merenung, dan renungan ini adalah sebuah pertanyaan yang terus menggantung di udara, seolah-olah menunggu jawaban dari kita semua. Di Indonesia, di mana jumlah profesor terus bertambah, apakah kita telah memenuhi kriteria yang seharusnya? Ataukah kita perlu memikirkan ulang apa arti menjadi seorang intelektual?

Mungkin tiba saatnya kita merenung lebih dalam, melampaui sekadar angka dan gelar yang seringkali mengekang. Apakah yang kita kejar ini, dengan segala ambisinya, merupakan esensi dari kebermaknaan hidup? Karena, menjadi seorang intelektual, kata itu, bukanlah sekadar memenuhi daftar kriteria, melainkan sebuah tindakan berdampak, sebuah resonansi yang mempengaruhi dunia, dan lebih dari itu, sebuah pemahaman diri.

Empat pilar intelektual yang kita agungkan, pengetahuan, keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan integritas akademik, menjadi bahan renungan saya. Apakah saya, dalam peran saya sebagai akademisi, telah memenuhi keempat pilar ini? Ataukah saya hanyalah seorang pelaku akademik yang terperangkap dalam labirin sistem?

Dalam renungan dan keheningan ada kesadaran bahwa intelektual itu adalah perjalanan tanpa akhir, bukan sebuah destinasi, tetapi tentang bagaimana kita terus belajar, bagaimana kita mempengaruhi, dan yang paling penting, bagaimana kita memahami diri kita sendiri. Gelar profesor, dan sebutan “Prof”, adalah lebih dari sekadar gelar atau angka; saya adalah entitas yang terus bermetamorfosis, yang terus bergerak dalam pencarian makna. Itulah intelektualias sebenarnya.

Malam itu, saya tidur, tetapi dengan kesadaran yang lebih mendalam tentang diri saya dan tentang apa yang sebenarnya saya kejar dalam hidup ini. Saya tidur dengan harapan bahwa, mungkin saja, kita semua akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus melayang, seolah menunggu untuk dijawab. Dan mungkin, hanya mungkin, jawaban itu akan membawa kita ke sebuah kebenaran yang lebih besar, sebuah kebenaran yang akan membebaskan kita dari semua label dan batasan yang kita, atau mungkin dunia, ciptakan.