Antara keahlian dan kredensial: Menggali makna dan misrepresentasi gelar profesional

Dalam konteks budaya Indonesia dan Jepang, gelar profesional seperti “Profesor” dan “Sensei” tidak hanya mencerminkan pencapaian akademik atau keahlian individu, tetapi juga membawa implikasi sosial yang signifikan. Di Indonesia, gelar “Profesor” sering dianggap sebagai simbol status yang membuka akses ke peluang sosial dan profesional yang lebih luas. Namun, keinginan untuk mendapatkan pengakuan ini terkadang mendorong beberapa individu ke jalur yang kurang etis, seperti melakukan manipulasi dalam proses kenaikan pangkat untuk memenuhi target penilaian, hingga membeli gelar palsu, yang pada gilirannya dapat merusak integritas akademik dan profesional.

Sebaliknya, di Jepang, “Sensei” adalah bentuk penghormatan yang diberikan kepada individu yang diakui atas keahlian dan kontribusi nyata mereka di berbagai bidang. Ini menunjukkan bahwa penghargaan atas keahlian di Jepang lebih bersifat organik dan berbasis pada pengakuan masyarakat daripada hanya pencapaian gelar. Di Jepang, seorang profesor dipanggil dengan sebutan “Sensei”. 

Kontras ini mengajukan pertanyaan penting tentang nilai yang kita tempatkan pada pendidikan dan keahlian dalam masyarakat modern. Apakah kita lebih menghargai tanda-tanda eksternal dari pencapaian seperti gelar, atau apakah kita harus lebih menekankan pengakuan atas kemampuan nyata dan kontribusi kepada masyarakat? Fenomena gelar (apalagi gelar yang diperoleh dengan cara yang tidak wajar) di Indonesia menunjukkan perlunya pembaharuan dalam sistem pendidikan dan profesional untuk memastikan bahwa gelar yang diberikan benar-benar mencerminkan keahlian dan pengetahuan yang sebenarnya. Dengan demikian, kita dapat lebih menghormati dan menghargai mereka yang benar-benar berkontribusi kepada pengetahuan dan kesejahteraan bersama. 

Makna panggilan “Sensei” dan “Prof” bagi orang Jepang dan Indonesia

Di Jepang, panggilan “Sensei” memiliki makna yang sangat menghormati dan digunakan dalam berbagai konteks untuk menunjukkan penghormatan kepada seseorang yang dianggap memiliki keahlian atau pengetahuan yang mendalam dalam suatu bidang tertentu. Secara harfiah, “Sensei” berarti “orang yang lahir lebih dulu,” yang mengimplikasikan kebijaksanaan dan pengalaman yang diperoleh seiring waktu.

Penggunaan panggilan “Sensei” umumnya terkait dengan guru atau instruktur, baik di sekolah, universitas, atau dalam konteks pelatihan, seperti seni bela diri. Namun, istilah ini juga dapat digunakan untuk profesional seperti dokter, pengacara, atau seniman, sebagai tanda pengakuan terhadap keahlian mereka. “Sensei” menyiratkan tingkat kehormatan dan rasa hormat yang tinggi dan biasanya digunakan oleh orang-orang yang lebih muda atau oleh mereka yang belajar atau mendapatkan bimbingan dari individu yang bersangkutan.

Panggilan “Prof” di Indonesia memang sering dikaitkan dengan simbol status dan prestasi akademik. Ini mirip dengan penggunaan “Sensei” di Jepang, namun ada beberapa perbedaan dalam konteks dan nuansa.

Di Jepang, “Sensei” digunakan lebih luas dan tidak terbatas pada konteks akademis. Seperti yang telah disebutkan, istilah ini bisa merujuk pada guru, dokter, pengacara, seniman, dan ahli lainnya. Ini mencerminkan penghormatan terhadap keahlian dan pengalaman di berbagai bidang, bukan hanya pendidikan tinggi. Selain itu, “Sensei” juga menekankan aspek pembimbing atau pendidik, tidak sekadar menunjukkan gelar atau posisi.

Sementara di Indonesia, “Prof” sebagai singkatan dari “profesor” lebih spesifik digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mencapai puncak karir akademis di perguruan tinggi atau universitas. Panggilan ini bisa menjadi simbol status karena menggambarkan pencapaian akademik yang tinggi dan posisi yang dihormati dalam masyarakat.

Secara keseluruhan, kedua istilah tersebut memang digunakan sebagai tanda penghormatan dan pengakuan terhadap keahlian seseorang, tetapi konteks dan penggunaan keduanya berbeda tergantung pada budaya dan tradisi masing-masing negara.

Antara keahlian dan kredensial

Ada perbedaan signifikan dalam bagaimana gelar “Profesor” dan “Sensei” diperoleh dan dihargai dalam masyarakat Indonesia dan Jepang.

Di Indonesia, gelar “Profesor” sering kali dikejar sebagai pencapaian akademik dan profesional. Mendapatkan gelar Profesor melibatkan proses yang panjang dan ketat, termasuk pendidikan tinggi, penelitian yang ekstensif, publikasi, dan pengajaran. Ini adalah gelar resmi yang diberikan oleh institusi akademik, dan sering kali dikaitkan dengan prestasi dan status sosial. Gelar ini juga dapat membuka lebih banyak peluang dalam karir akademik dan profesional, membuatnya menjadi tujuan yang diinginkan banyak akademisi.

Sementara itu, di Jepang, “Sensei” adalah istilah yang lebih luas yang tidak hanya terbatas pada dunia akademik. Sensei digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian mendalam dalam bidang tertentu. Ini bukan gelar yang dikejar dalam cara yang sama seperti gelar akademik, tetapi lebih merupakan pengakuan dari masyarakat terhadap kemampuan dan kontribusi seseorang. Oleh karena itu, menjadi “Sensei” lebih tentang diakui oleh orang lain daripada mencapai sebuah gelar.

Dengan demikian, di Jepang, status “Sensei” lebih berkaitan dengan penghormatan dan pengakuan atas keahlian individu dan kurang sebagai simbol status yang dikejar melalui jalur akademik atau profesional formal.

Fenomena sosial status gelar 

Telah terungkap dalam pemberitaan media bahwa beberapa individu telah berani membeli gelar “palsu” dari institusi yang tidak kredibel dan bahkan melakukan penipuan untuk memperolehnya. Di Indonesia, terdapat kasus di mana mantan pejabat dan pejabat yang memperoleh gelar Profesor yang diragukan keabsahannya dari luar negeri, kemudian mereka secara sengaja memanfaatkan gelar tersebut untuk meningkatkan status sosial mereka. Selanjutnya, terdapat peristiwa di mana Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Anwar Makarim, mencabut gelar profesor seseorang karena terdapat indikasi kecurangan dalam proses pengusulan gelar yang disetarakan dari luar negeri.

Memang, karena gelar “Profesor” sering kali dianggap sebagai simbol status dan prestasi yang tinggi di Indonesia, ini bisa memicu beberapa orang untuk mencari jalan pintas demi mendapatkan gelar tersebut. Keinginan kuat untuk mendapatkan pengakuan sosial, peningkatan status ekonomi, dan peluang karir yang lebih baik bisa mendorong individu untuk membeli gelar palsu dari institusi yang tidak kredibel atau bahkan terlibat dalam kegiatan penipuan untuk mendapatkannya.

Praktik semacam ini tidak hanya merendahkan nilai pendidikan yang sebenarnya tetapi juga merusak integritas sistem pendidikan dan profesional secara keseluruhan. Ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang lebih dalam tentang nilai pengetahuan dan keahlian yang otentik serta perlunya lembaga pendidikan dan masyarakat umum untuk menjaga standar tinggi dalam pendidikan dan penghargaan profesional.

Di sisi lain, “Sensei” di Jepang adalah sebuah penghormatan yang diberikan berdasarkan pengakuan atas keahlian nyata dan kontribusi seseorang, yang sulit untuk dipalsukan karena didasarkan pada penilaian sosial dan profesional atas kemampuan individu tersebut. Ini menciptakan dinamika yang sangat berbeda dalam hal pencapaian dan pengakuan profesional di kedua budaya tersebut.