Viralitas: Keberadaan efemeral pada dunia akademik

Di era digital saat ini, viralitas adalah fenomena yang sangat umum. Mulai dari meme yang lucu, klip video yang menghibur, hingga hasil penelitian ilmiah yang coba dibuat ‘menarik’, semua berusaha menarik perhatian kita dalam aliran informasi yang tidak henti-henti. Tetapi mengapa hal-hal yang viral seringkali cepat dilupakan? Dan bagaimana ini relevan dengan dunia akademik?

Sebelumnya, kita harus memahami fenomena yang dikenal sebagai “overload informasi”. Dalam dunia yang terhubung secara online, kita terpapar pada aliran informasi yang konstan dan besar, baik itu dari media sosial, berita online, email, dan lainnya. Kondisi ini membuat sesuatu yang viral bisa mendapatkan perhatian besar untuk waktu yang singkat, tapi dengan cepat lenyap dari memori kita ketika gelombang informasi baru datang.

Selain itu, siklus berita juga mempengaruhi lupakan kita pada hal-hal yang viral. Media, termasuk media sosial, beroperasi dalam siklus berita yang sangat cepat, di mana topik baru dan menarik selalu muncul dan menggeser perhatian dari topik sebelumnya. Artinya, fenomena atau tren yang hari ini mendominasi berita dan perbincangan, besok bisa saja hilang dan tergantikan oleh sesuatu yang baru.

Namun, ada juga faktor kualitas informasi. Konten yang viral seringkali tidak memiliki nilai atau kualitas tinggi. Banyak yang viral karena kontennya yang menghibur, mengejutkan, atau membangkitkan emosi kuat, bukan karena memberikan pengetahuan atau wawasan yang mendalam. Jadi, meski viral, dampak jangka panjang mereka seringkali minim.

Fenomena viralitas ini juga meluas ke dunia akademik. Di era digital, peneliti sering merasa terdorong untuk membuat penelitian mereka viral, entah dengan teknik pemasaran atau mencoba menciptakan “buzz” di media sosial. Namun, penelitian yang berusaha viral dengan cara yang ‘aneh’ mungkin tidak memberikan dampak jangka panjang, terutama jika penelitian tersebut tidak memiliki integritas akademik yang kuat.

Bahkan, upaya untuk memviralkan penelitian dapat berdampak hanya ‘kosmetik’ pada bibliometri. Mungkin ada peningkatan jumlah kutipan atau tampilan halaman jurnal, tetapi ini tidak berarti peningkatan pemahaman atau pengetahuan ilmiah.

Akhirnya, peneliti harus mencari keseimbangan antara kebutuhan untuk berkomunikasi dan menyebarluaskan penelitian mereka dengan menjaga integritas dan kualitas penelitian itu sendiri. Alih-alih berfokus pada menciptakan sensasi atau menjadi viral, peneliti harus memastikan bahwa penelitian mereka solid, dapat dipercaya, dan berkontribusi pada pengetahuan umum.

Viralitas mungkin menyenangkan dan memuaskan untuk sementara, tetapi dampak jangka panjangnya seringkali tidak sebanding. Oleh karena itu, di tengah gelombang informasi digital yang tak henti-henti, kita perlu menjadi lebih selektif dan kritis terhadap apa yang kita konsumsi dan bagaimana kita mengevaluasi kualitasnya.

Hal ini juga berlaku untuk peneliti dan ilmuwan. Menjadikan penelitian viral mungkin tampak menarik, tetapi apakah hal tersebut sepadan dengan risiko mengurangi integritas dan dampak jangka panjang penelitian? Atau apakah lebih baik fokus pada kualitas penelitian dan kontribusi yang sebenarnya ke bidang pengetahuan?

Dalam dunia di mana semua orang berlomba untuk mendapatkan perhatian, mungkin sudah saatnya kita melambat dan mempertimbangkan apa yang benar-benar berharga dan bermakna, baik dalam konsumsi media kita sehari-hari maupun dalam penelitian akademik.

Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa kita tidak hanya mengejar sesuatu yang bersifat efemeral dan cepat dilupakan, tetapi juga memberikan ruang dan perhatian kita kepada informasi dan pengetahuan yang memiliki nilai dan dampak yang nyata dan berkelanjutan.