Tantangan penerapan Indeks Kinerja Utama (IKU) di universitas

UUD 1945 memberikan amanat tentang pendidikan di Indonesia dalam Pasal 31. Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah wajib memajukan kecerdasan kehidupan bangsa serta menyelenggarakan dan menyempurnakan satu sistem pendidikan nasional yang demokratis dan meningkatkan taraf hidup rakyat.

Amanat ini memiliki kaitan erat dengan situasi pendidikan tinggi saat ini di Indonesia. Di era modern, pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, melainkan tentang bagaimana masyarakat dapat berkembang dan mengatasi tantangan bersama. Penerapan Indeks Kinerja Utama (IKU), sebagai tolok ukur kinerja universitas, harus selaras dengan tujuan pendidikan nasional seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Karena saya adalah dosen di Kota Malang, sebuah fenomena khas di Kota ini terjadi dan sangat relevan dengan dinamika pendidikan saat ini. Kota ini memiliki kepadatan universitas yang tinggi, menjadikannya salah satu pusat pendidikan utama di Indonesia. Beberapa universitas terkemuka, seperti Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Malang (UM), Institut Teknologi Malang (ITN), Unversitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan banyak lagi, berada dalam satu kawasan yang sama.

Fakta ini bukan hanya sekadar statistik. Adanya begitu banyak universitas di satu kawasan ini membawa konsekuensi serius dalam banyak aspek, dan juga menimbulkan peluang dan tantangan unik di ranah pendidikan. Hal ini semakin diperkuat dengan peringkat tinggi dan pengakuan yang telah diterima oleh banyak universitas di Malang, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Pertama, ada persaingan yang sangat sengit untuk berebut talenta. Universitas-universitas di Malang mungkin berlomba-lomba untuk mendapatkan dosen dan peneliti terkemuka, serta mahasiswa berprestasi. Situasi ini bisa menambah intensitas persaingan yang sudah cukup tinggi, bukan hanya antara universitas lokal tetapi juga pada level nasional.

Kemudian, ada potensi untuk investasi infrastruktur yang berlebihan. Dalam upaya menarik perhatian dan sumber daya, universitas mungkin berinvestasi dalam infrastruktur yang serupa atau bahkan berlebihan, daripada mencari cara untuk berkolaborasi dan berbagi fasilitas. Ini bisa menyebabkan pemborosan sumber daya dan menghambat inisiatif kolaboratif.

Indikator Kinerja Utama (IKU), atau Key Performance Indicators (KPIs) dalam Bahasa Inggris, adalah metrik yang digunakan untuk mengukur sejauh mana sasaran organisasi tercapai. Mereka biasanya dipakai untuk mengukur kesuksesan dalam berbagai tingkat, mulai dari tingkat tinggi seperti visi organisasi hingga tingkat rendah seperti proses-proses operasional.

Dalam konteks akademik, terutama di Kota Malang yang ingin menjadi pusat kolaborasi akademik regional yang kuat, berfokus terlalu kuat pada IKU bisa menjadi hambatan. Berikut adalah beberapa hal yang menyebabkan hal ini hal ini bisa terjadi:

  1. Fokus pada Hasil Jangka Pendek: IKU seringkali terfokus pada hasil jangka pendek. Hal ini bisa mengalihkan perhatian dari investasi jangka panjang seperti kolaborasi dan pengembangan program yang lebih inklusif dan holistik.
  2. Pengukuran yang Terbatas: Jika IKU yang dipilih tidak mencakup aspek-aspek penting dari kolaborasi dan pengembangan akademik, hal ini bisa menghambat kemajuan dalam area tersebut. Misalnya, jika IKU hanya mengukur keberhasilan individual atau departemen, tanpa mempertimbangkan sinergi dan kerjasama, ini bisa menyebabkan persaingan daripada kolaborasi.
  3. Tekanan Terhadap Hasil: Fokus yang berlebihan pada IKU bisa menimbulkan tekanan untuk menghasilkan hasil positif dalam waktu singkat, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan tujuan jangka panjang seperti pengembangan kolaborasi yang berkelanjutan.
  4. Kurangnya Fleksibilitas: Terlalu banyak ketergantungan pada IKU tertentu bisa membuat organisasi kurang fleksibel dalam menanggapi perubahan dan peluang baru, yang bisa menghambat inovasi dan kreativitas.
  5. Penekanan pada Kuantitas daripada Kualitas: Jika IKU terutama berfokus pada metrik kuantitatif (misalnya jumlah publikasi, skor ujian, dll.), hal ini mungkin tidak mencerminkan kualitas pendidikan, penelitian, atau kolaborasi yang sebenarnya. Ini bisa menghambat pengembangan pendekatan yang lebih inklusif dan holistik.
  6. Mengabaikan Nilai-nilai Inti: Jika IKU yang dipilih tidak sejalan dengan nilai-nilai inti dari kolaborasi, inklusivitas, dan pendekatan holistik, hal ini bisa menimbulkan konflik dalam organisasi dan menghambat kemajuan dalam area-area ini.

Dengan keberadaan begitu banyak universitas, Malang memiliki peluang unik untuk menjadi pemimpin dalam inovasi pendidikan. Namun, pendekatan yang terlalu berorientasi pada IKU mungkin menghambat pengembangan inisiatif pendidikan yang kreatif dan kolaboratif.

Dengan demikian, situasi di Malang menjadi cerminan unik dari dinamika pendidikan kontemporer, dengan peluang dan tantangan yang khas. Pemahaman yang mendalam tentang situasi ini dapat membantu pemangku kepentingan untuk merumuskan strategi yang lebih efektif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan di kawasan tersebut.

Persaingan berlebihan yang menghambat kolaborasi menjadi perhatian serius. Sejalan dengan amanat UUD 1945, pendidikan harus dikelola dengan cara yang meningkatkan taraf hidup rakyat dan memajukan kecerdasan kehidupan bangsa, bukan sekedar mengejar angka dan peringkat. Kolaborasi antar-universitas, yang sejalan dengan konsep sistem terbuka, harus menjadi bagian dari sistem pendidikan yang demokratis.

Peran pemerintah dalam mendesain peraturan dan insentif yang seimbang menjadi vital untuk memastikan bahwa universitas bekerja sama dalam penelitian dan pengembangan. Ini sejalan dengan amanat UUD 1945 yang menekankan pentingnya pemerintah dalam menyelenggarakan dan menyempurnakan sistem pendidikan nasional.

Tantangan dalam mengatur pendidikan tinggi ini tak hanya bersifat teknis, tapi juga etis dan eksistensial. Ini berhubungan erat dengan nilai-nilai, tujuan, dan aspirasi kita sebagai masyarakat yang terdidik dan reflektif, sebagaimana amanat UUD 1945. Kita perlu berpikir lebih dalam tentang bagaimana mengatur sistem pendidikan yang benar-benar selaras dengan kebutuhan dan aspirasi bangsa Indonesia, dengan mengutamakan kolaborasi, inovasi, dan pertumbuhan bersama, serta menegaskan peran pendidikan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan sejahtera.

Di tengah pergeseran dinamika pendidikan tinggi, banyak institusi sedang mencari jalan terbaik dalam memahami dan mengimplementasikan sistem IKU. Meskipun tujuan awalnya mungkin adalah meningkatkan kualitas dan efisiensi, sistem ini sebenarnya dapat mendorong persaingan berlebihan antar-universitas, yang menghambat kolaborasi dan pertumbuhan bersama.

Konsep sistem terbuka dan tertutup bisa diaplikasikan untuk mengilustrasikan situasi ini. Dalam sistem terbuka, universitas akan saling berkolaborasi dalam berbagai aspek, seperti pertukaran pengetahuan atau penelitian bersama. Namun, realitas sering kali lebih kompleks, dengan banyak universitas yang cenderung bersaing, mengadopsi pendekatan sistem tertutup, hanya untuk mengejar Indeks Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan.

Memahami dan mengatur pendidikan tinggi bukanlah usaha yang sia-sia. Dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini, kita mungkin menemukan cara-cara baru untuk lebih selaras dengan nilai-nilai, tujuan, dan aspirasi kita sebagai masyarakat yang terdidik dan reflektif. Kita dihadapkan pada tantangan yang tidak hanya teknis tetapi juga etis dan eksistensial, dan bagaimana kita menanggapi tantangan ini akan menentukan tak hanya kualitas universitas kita, tetapi juga sifat masyarakat yang kita bangun dan hidupi bersama.