To be, or not to be

“To be, or not to be” adalah solilokui terkenal dari drama “Hamlet” karya William Shakespeare, khususnya dari Adegan 1, Babak 3. Solilokui ini disampaikan oleh Pangeran Hamlet dan membahas tema-tema tentang kematian, bunuh diri, dan dilema eksistensial antara penderitaan dalam hidup dan ketidakpastian apa yang ada setelah kematian. Saya tidak pernah melihat dramanya tapi membaca mengenai “To be, or not tobe” di Wikipedia. Jalan yang paling mudah untuk mengetahui dan sedikit memahami.

Bayangkan situasi yang sama terjadi pada seorang jurnalis masa kini bernama Polan yang menemukan dirinya dalam dilema moral dan eksistensial. Dia ditawari pekerjaan dengan bayaran tinggi di sebuah media yang dikenal karena pelaporan yang bias. Tawaran ini menggoda; menjanjikan stabilitas finansial dan platform untuk suaranya. Namun, Polan terbelah antara godaan kenyamanan dan kompromi etis yang menyertainya.

Di sebuah kafe yang tenang, Polan membuka laptopnya dan mulai mengetik sebuah editorial, jarinya berdansa di antara tombol seolah-olah dalam balet keengganan. Dia berhenti dan berpikir, “Menulis, atau tidak menulis, itulah pertanyaannya.” Dia merenungkan bobot kata-kata, kekuatan yang mereka miliki untuk mempertahankan kebenaran atau memperkuat kebohongan.

“Apakah lebih mulia untuk menderita sabetan dan panah dari kehidupan freelance yang tidak pasti, atau mengambil pena melawan lautan bias dan, dengan menentang, mengakhirinya?” dia merenung. Dia memikirkan kenyamanan yang dijanjikan tawaran pekerjaan—tidak lagi khawatir larut malam tentang tagihan atau keamanan pekerjaan. Tapi kemudian, dia juga memikirkan biayanya—integritasnya, suaranya, dan kebenaran.

Polan menyadari bahwa dilemanya bukan hanya tentang memilih antara dua opsi; ini tentang memahami esensi keberadaannya. Sama seperti Hamlet, dia memahami bahwa setiap pilihan datang dengan serangkaian ketidakpastian dan konsekuensi.

Pada akhirnya, Polan memutuskan untuk menolak tawaran itu. Dia memilih untuk menanggung kesulitan kehidupan yang tidak pasti tetapi jujur daripada kenyamanan keberadaan yang dikompromikan. Dan saat dia menutup laptopnya, dia merasa ada rasa pembebasan, seolah-olah dia baru saja melepaskan beban berat, membuat ruang untuk kehidupan yang lebih selaras dengan diri sejatinya.

Dengan demikian, seperti Hamlet, Polan menemukan bahwa pertanyaan “Menjadi, atau tidak menjadi” bukan hanya renungan puitis tetapi juga momen pilihan yang menentukan, sebuah persimpangan yang membentuk keberadaan seseorang.