Mimpi dan kenyataan pendidikan tinggi Indonesia

Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan yang terus bergerak, terdapat dua aspek yang sering terlupakan namun krusial: struktur dan strategi. Struktur pendidikan tinggi di Indonesia, sebuah sistem yang rumit dan penuh tantangan, seringkali tidak berjalan seiring dengan irama dan tuntutan peringkat QS, sebuah tolok ukur yang diidamkan banyak institusi. Kita berada dalam dunia ‘universitas massa’, dimana lautan mahasiswa bergerak dalam arus yang sama, namun tidak selalu menuju ke arah yang sama.

Kita harus mengingat, angka-angka yang terpampang dalam peringkat QS hanyalah bayangan dari kenyataan, sebuah model yang harus kita sesuaikan dengan realitas yang kita hadapi. Di Indonesia, rasio mahasiswa terhadap dosen mencapai angka yang mencengangkan, 1 banding 30, sebuah fakta yang terungkap dari data PDDIKTI yang mencatat sekitar 9 juta mahasiswa dan sekitar 298.000 orang staf pengajar atau dosen. Angka-angka ini bukan sekedar statistik, melainkan cerminan dari beban mengajar yang berat, yang pada gilirannya juga mempengaruhi kualitas penelitian, sebuah komponen penting dalam penilaian peringkat.

Namun, ketika kita melihat lebih dalam, muncul sebuah pertanyaan kritis: bagaimana mungkin kita dapat meningkatkan peringkat dalam kondisi seperti ini? Apakah mungkin untuk bersaing di panggung global, ketika universitas-universitas terkemuka dunia memiliki rasio mahasiswa terhadap dosen yang jauh lebih rendah, ditambah dengan kualitas dosen, fasilitas, dan pendanaan riset yang jauh lebih superior?

Mungkin, dalam konteks ini, peningkatan peringkat yang terjadi bukanlah cerminan dari peningkatan kualitas pendidikan atau penelitian yang sebenarnya, melainkan hanya sebuah ilusi, sebuah prestasi semu yang tidak benar-benar menyentuh inti dari masalah pendidikan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, mungkin lebih bijaksana untuk mengalihkan fokus kita dari obsesi terhadap peringkat, ke arah peningkatan kualitas internal: memperbaiki rasio mahasiswa terhadap dosen, meningkatkan kualitas pengajaran, memperkuat tata kelola riset, memperkaya fasilitas, dan menguatkan pendanaan riset.

Dalam perjalanan panjang ini, kita harus berani menghadapi kenyataan dan membangun mimpi kita sendiri, bukan hanya mengejar bayangan dari apa yang dianggap dunia sebagai kesuksesan.