Pendidikan, kata yang seharusnya menggema dengan semangat pencerahan dan pembentukan karakter, kini seringkali terdengar seperti bisikan pasar yang mengutamakan pencitraan dan persaingan. Di era di mana pendidikan seolah menjadi arena perlombaan fasilitas dan peringkat, kita terjebak dalam paradoks: mendambakan kebijaksanaan namun terpaku pada angka-angka yang mengesankan.
Dalam perjalanan mencari esensi pendidikan, kita tersandung pada realitas kapitalisme dalam pendidikan tinggi. Di sini, pendidikan bukan lagi tentang mengejar pengetahuan atau mengasah pikiran kritis, melainkan tentang bagaimana memoles citra dan menarik investasi. Lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi pembentuk pemikir dan inovator, kini lebih sering terlihat seperti etalase prestasi dan fasilitas.
Perubahan zaman juga membawa tantangan baru. Di era digital yang serba cepat, pendidikan sering kali terjebak dalam arus inovasi teknologi yang tak kunjung padam. Media sosial dan budaya populer telah mengubah pandangan masyarakat terhadap pendidikan, di mana kesuksesan yang tampak menjadi lebih berharga daripada proses pembelajaran yang mendalam dan berarti.
Namun, ada satu aspek penting yang sering terlupakan: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs). SDGs, dengan penekanannya pada aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dari pembangunan berkelanjutan, menempatkan pendidikan berkualitas (SDG 4) sebagai salah satu tujuan utamanya. Namun, seringkali terjadi konflik antara tujuan ekonomi dan sosial dengan tujuan lingkungan, mencerminkan distorsi dalam prioritas pendidikan.
Kemiskinan, seperti yang terlihat di Meksiko, juga memberikan wawasan penting. Artikel tentang kemiskinan di Meksiko menunjukkan bagaimana ketidaksetaraan sosial dan faktor ekonomi mempengaruhi akses dan kualitas pendidikan. Ini menggarisbawahi bahwa pendidikan tidak hanya terdistorsi oleh kapitalisme, tetapi juga oleh struktur sosial yang lebih luas yang menentukan siapa yang memiliki akses ke pendidikan berkualitas dan siapa yang tidak.
Selanjutnya, Hukum Campbell memberikan perspektif lain. Adagium ini mengatakan bahwa ketika ukuran kinerja menjadi tujuan proses pengajaran, mereka kehilangan nilai mereka sebagai indikator status pendidikan dan mendistorsi proses pendidikan dengan cara yang tidak diinginkan. Ini menjelaskan bagaimana sistem penilaian dan pengujian yang berlebihan dalam pendidikan dapat menyebabkan distorsi tujuan, menggeser fokus dari pembelajaran yang bermakna menjadi pencapaian angka-angka yang hampa.
Dalam menghadapi distorsi tujuan pendidikan ini, kita dituntut untuk kembali merenung dan mencari jalan kembali ke esensi pendidikan yang sejati: pencerahan, pengembangan karakter, dan pembangunan kehidupan bangsa yang berkeadilan dan berkearifan. Kita perlu revolusi paradigma, perubahan yang menyeluruh, mulai dari sistem pendidikan hingga nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Mari kita tidak lupa bahwa pendidikan adalah tentang membangun masa depan, bukan hanya tentang mengukir prestasi di masa kini. Di tengah distorsi ini, kita harus tetap berpegang pada harapan bahwa pendidikan dapat kembali menjadi cahaya yang menerangi jalan kebijaksanaan dan keadilan.