Refleksi atas janji ilmiah dan godaan emas

“Selesaikan 1 paper terindeks Scopus dalam satu hari.”

Iklan yang muncul di Facebook saya bukan sekadar pesan komersial biasa. Ini adalah manifestasi dari usaha merangkai profit di dunia akademis. Di balik tawaran yang tersaji, tersimpan motivasi. Apakah ini semata-mata pencarian keuntungan, atau ada latar belakang yang lebih kompleks?

Di tengah dunia akademis, kita menemukan diri kita terhanyut dalam pertanyaan yang tak kunjung usai? Seorang dosen dan sekaligus peneliti, dalam keheningan ruang kerjanya, menatap layar yang memancarkan janji: sebuah karya ilmiah, terindeks oleh Scopus, rampung dalam sehari. Bisakah ini menjadi kenyataan, atau sekedar ilusi yang menggoda imajinasi?

Pertama, kecepatan menjadi dewa yang kita sembah. Indeksasi, sebuah altar di mana kita mempersembahkan karya. Namun, di balik gemerlapnya janji ini, tersembunyi sebuah tanya: apakah ini ukuran sejati dari keilmuan?

Revolusi, sebuah kata yang menggema dari masa ke masa, mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya bergerak linier. Ia melompat, berubah, mengguncang fondasi yang ada. Bukan sekedar penumpukan, melainkan pergeseran yang mendalam. Dalam kejaran produksi dan pengakuan instan, mungkin kita lupa pada esensi yang lebih mendalam: penciptaan yang benar-benar berarti.

Dilema antara kualitas dan kuantitas bukanlah hal baru. Di era yang mengagungkan angka dan pengukuran, kita terjebak dalam jaring bibliometri yang seolah-olah menjadi penentu mutu. Namun, karya yang benar-benar berdampak, seringkali membutuhkan waktu lebih dari sekedar hitungan hari. Pandangan salah kaprah ini juga digunakan dalam pemeringkatan.

Apakah, dengan kecepatan dan pengakuan instan, kita akan melihat kemajuan? Jawabannya bukan hitam dan putih. Jika kita hanya mengejar pengakuan, mungkin kita akan kehilangan inti dari apa yang membuat penelitian berharga: keberanian untuk bertanya, untuk mengeksplorasi, untuk melampaui batas.

Kita harus kembali ke dasar: menghargai proses, pertanyaan yang mendalam, dan keberanian untuk berinovasi. Di negeri kita, tantangan ini menjadi lebih nyata. Bukan sekedar produksi cepat yang kita butuhkan, melainkan kualitas yang dapat memberi makna lebih bagi masyarakat.

Namun, ada dimensi lain yang sering terlupakan: motif komersial. Fenomena ini bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, melainkan tentang uang. Dalam dunia yang semakin materialistis, uang menjadi tujuan akhir yang memabukkan.

Apa yang terjadi ketika uang menjadi tujuan utama? Kita mulai mengorbankan nilai intrinsik dari apa yang kita lakukan. Dalam penelitian, ini berarti kualitas dikorbankan demi kuantitas, inovasi demi kecepatan, dan pengakuan jangka pendek daripada kontribusi jangka panjang.

Ketika uang menjadi pendorong, kita berisiko menghilangkan nilai-nilai yang seharusnya menjadi fondasi ilmu pengetahuan: kejujuran, ketelitian, dan komitmen terhadap pengetahuan yang autentik. Ini menciptakan lingkungan di mana kebenaran ilmiah bisa terdistorsi oleh kepentingan komersial.

Penting bagi kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang kita pegang. Apakah kita ingin hidup dalam dunia yang diukur dengan uang, atau kita berani membayangkan sistem nilai yang lebih beragam, yang menghargai kontribusi intelektual dan sosial di atas segalanya?

Kita harus kembali kepada prinsip dasar ilmu pengetahuan dan penelitian yang etis, di mana pencarian pengetahuan dilakukan tidak untuk keuntungan finansial semata, melainkan untuk kemajuan bersama. Ini adalah perjalanan yang membutuhkan keberanian, integritas, dan komitmen terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi.

Saya mengakui, renungan ini mungkin hanya akan menjadi bisikan lembut di tengah hiruk-pikuk badai yang tak henti-hentinya mengejar prestasi. Prestasi yang, ironisnya, seringkali hanya berselimut angka-angka semu, menawarkan kehangatan palsu di tengah gurun kebenaran yang tandus.