Literasi dan kepemimpinan di era instan

Menelusuri kepemimpinan di Indonesia ibarat minum kopi di warung pinggir jalan; ada rasa, ada cerita, dan tentunya ada kehangatan unik yang membuat kita selalu ingin kembali lagi. Mulai dari era Soekarno yang bak rockstar di atas panggung, berapi-api dan penuh semangat, hingga Soeharto dengan ciri khas senyumnya yang menenangkan, seolah mengingatkan kita pada tetangga sebelah yang selalu ramah.

Lalu ada Habibie dengan otaknya yang mirip komputer, mengajak kita berfantasi tentang masa depan yang penuh inovasi. Gus Dur, dengan lawakannya yang tajam namun efektif, mengajarkan kita bahwa hikmah bisa datang dari sudut yang tidak kita duga. SBY yang berhati-hati, mengingatkan pengemudi yang berhati-hati, selalu memastikan semuanya aman sebelum memulai perjalanan.

Tapi, sekarang kok rasanya berbeda. Ibarat minum kopi tapi lupa gulanya. Era saat ini lebih merupakan era “instan”. Pesannya cepat, mudah dicerna, namun terkadang kita lupa, apa intisarinya? Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, bagaimana generasi penerus bangsa bisa memahami dan mengapresiasi pentingnya ‘membaca’ lebih dalam, tidak hanya melihat ‘sampul’ luarnya saja.

Kita juga rindu para pemimpin yang bisa menulis, yang karyanya bisa kita baca dan renungkan. Seperti Bung Karno atau Bung Hatta yang tulisan-tulisannya bisa membuat kita takjub dan berpikir, “Wah, ini baru pemimpin!” Mereka seperti kopi yang diseduh dengan sempurna; kuat, berani, dan meninggalkan kesan mendalam.

Semoga kedepannya kita dapat memiliki pemimpin yang memahami pentingnya literasi dan ide-ide cemerlang. Yang tidak hanya pandai berbicara, namun juga bisa menginspirasi melalui tulisan dan pemikirannya. Agar kelak generasi mendatang bisa melihatnya dan berkata, “Nah, ini warisan keren dari nenek moyang kita.” Sehingga kelak, literasi dan pemikiran mendalam akan menjadi semacam ‘morning coffee’ yang wajib dimiliki bangsa ini; bangun, memberi energi, dan tentu saja menginspirasi.